Kalesang – Setiap tanggal 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Sedunia sebagai momentum untuk merayakan pencapaian perempuan di berbagai bidang sekaligus menyerukan kesetaraan gender. Peringatan ini juga menjadi refleksi atas perjuangan panjang perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya serta mendorong aksi nyata demi dunia yang lebih adil.
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia, diskusi bertajuk “Buka (Buku) Bersama: Tabobo – Jerit Sang Puan di Atas Bongkahan Emas” melibatkan FAMM Indonesia, Walhi Maluku Utara, dan Jujaru. Diskusi ini digelar di RK Cafe di Kelurahan Sasa, Ternate Selatan Kota Ternate Maluku Utara Rabu (12/3/2025).
Buku tersebut membahas dampak pertambangan terhadap perempuan, khususnya lingkar tambang.
Buku ini ditulis oleh Astuti Kilwouw, yang menyoroti bagaimana perempuan, terutama di daerah yang kaya akan sumber daya alam, menjadi kelompok paling rentan akibat eksploitasi tambang.
“ Harapan dengan adanya buku ini, kita bisa menyampaikan kepada publik bahwa wajah dari aktivitas tambang itu seperti yang digambarkan pada buku tersebut,” ungkap Astuti.
Diskusi ini menyoroti ironi pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara, sektor tambang menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi provinsi ini.
Namun, di sisi lain, masyarakat yang tinggal di sekitar tambang justru menjadi kelompok yang paling miskin dan terdampak buruk akibat aktivitas industri ekstraktif.
Yunita Kaunar, jurnalis dari Kalesang.id, sekaligus sebagai pembicara dalam diskusi buku tersebut mengungkapkan, bahwa kehadiran tambang di Maluku Utara lebih banyak membawa keburukan daripada kesejahteraan.
“Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara memang tinggi karena sektor tambang, tapi siapa yang menikmati? Justru masyarakat di lingkar tambang yang paling miskin dan paling menderita,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa meskipun perusahaan tambang menghasilkan keuntungan besar, sebagian besar tenaga kerja yang dipekerjakan berasal dari luar daerah, sehingga masyarakat setempat tidak mendapat manfaat ekonomi yang signifikan.
“Seperti halnya warga kebutuhan pokok di wilayah lingkar tambang justru meningkat akibat arus masuk pekerja dari luar,” jelasnya.
Selain kemiskinan, masyarakat lingkar tambang seperti di Halmahera Tengah (Halteng), Halmahera Timur (Haltim), dan Pulau Obi juga menghadapi krisis air bersih. Limbah tambang mencemari sungai dan sumber air, menyebabkan warga sulit mendapatkan air bersih.
“Dulu, masyarakat bisa minum langsung dari sungai, sekarang mereka harus beli air galon karena air di sekitar sudah tercemar,” ujar Yunita.
Tak hanya itu, polusi udara dan air akibat aktivitas tambang menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk gangguan pernapasan dan penyakit kulit. Limbah tambang yang mengandung logam berat juga berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan, yang sering kali tidak mendapat perhatian serius.
Meskipun dampak buruk tambang terhadap masyarakat sudah sangat nyata, Yunita menilai bahwa pemerintah seakan menutup mata terhadap kondisi ini.
“Masyarakat hanya bisa pasrah dengan keadaan karena pemerintah pura-pura tidak melihat kondisi ini,” tandasnya.