Membaca Realitas

Secercah Harapan

Oleh

Regita Paputungan

 Sudah sampai pada pertengahan tahun. Pikiran semakin berisik, sebagian menuntut hasil, sebagian lagi sibuk mengutarakan kekecewaan. Harusnya setengah dari resolusi sudah tercapai. Belajar semakin rajin, kerjaan semakin baik, lingkungan semakin sehat dan raga kembali utuh. Namun, faktanya tidak begitu. Ada banyak waktu yang terbuang percuma.

Terkadang kita perlu berdamai dengan keadaan yang semakin memburuk yang kemudian membuat kita terpuruk. Ada banyak hal yang sebenarnya bisa membuat kita melupakan hal yang seharusnya tidak perlu kita pikirkan. Tapi di satu sisi ada lebih banyak lagi masalah yang membuat kita terjebak dalam permainan labirin hidup.

Hidup seakan memaksa kita agar tetap menguat kendati kita sudah tak kuat dan memaksa kita untuk berdiri pada diri yang hampir mati. Rasa memang mengalahkan segalanya, ketika rasa ingin menyerah kita sudah berada di ujung tanduk, tapi ada satu harapan yang kembali mengingatkan bahwa menyerah adalah satu hal pembelaan diri sementara namun  menghancurkan segalanya, selamanya.

Pada cerita ini aku titipkan satu dari sekian banyak kisah hidupku yang seakan membuatku berpikir bahwa hidupku semata-mata hanyalah permainan yang dimainkan dan di nahkodai majikanku. Kisah hidup yang tak pernah kupungkiri akan senikmat tapi nelangsa seperti ini.

Aku tak pernah tahu mengapa Tuhan menciptakan skenario hidupku sedemikan rupa. Kadang kumerasa bagai ratu yang dimahkotai, di puja dan di sayang semua orang, tak sedikit pula kumerasakan mimpi buruk yang selalu menghantuiku dalam menjalani hidup yang kian kemari semakin retak. Usiaku yang bisa dikatakan bukan lagi anak kecil, 20 tahun. Usia dimana kisah ku ini dimulai.

Aku tak habis pikir seorang Regita Paputungan sekarang mendapatkan nilai E dari salah satu dosen killer dikampus Universitas Khairun Ternate itu. Yaa, namaku Regita Paputungan, teman-temanku biasa memanggilku Regita, duduk di bangku kuliah Universitas Khairun Ternate Maluku Utara semester VI dengan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Usia kuliah dimana kita sudah bukan lagi mahasiswa berumur jagung yang masih senang bermain-main dengan permainan kampus.

Aku sadar sekarang saatnya aku harus bangun dan bangkit dari keterpurukan yang sempat membuatku hampir menyerah dalam menjalani hidup. Aku melihat sosok kedua orang tuaku, dan kemudian aku menemukan sejuta alasan mengapa aku harus sukses. Menyadari akan hal itu, meski mendapat nilai E tapi aku tetap bersyukur dan berusaha akan memperbaikinya di lain waktu.

Kalau boleh berkata jujur, sampai sekarang aku sama sekali belum memiliki tujuan untuk hidup. Bahkan untuk memikirkan tentang judul yang harus aku ajukan nanti sebagai pertimbangan tugas akhirku, aku belum sempat memikirkan hal itu. Entahlah, kurasa aku terlalu memanjakan badanku yang setiap waktu hanya habis di depan gawai kecil berukuran setelapak tangan.

Aku tak tahu pasti sebenarnya apa yang membuatku begitu mencintai benda kecil itu. Dalam sehari mungkin ada sekitar 70% waktuku yang kuhabiskan bersama dengan ponselku. Gila memang, yaa aku tergila-gila dengan benda itu.

Bagaimana tidak, hanya dengan sebuah smartphone aku merasa nyaman dan seakan tidak pernah mau melepasnya. Terlebih ditambah jaringan wifi yang ada dirumah membuatku bebas mau membuka apa saja yang ku mau dengan smartphone canggih ini. Kupikir ini adalah salah satu penyebab mengapa aku selalu berada pada jalur itu-itu saja dan tak pernah mau mencoba jalan lain lalu kemudian berkembang.

Aku tahu aku salah, aku tahu aku sudah terjebak dengan zona nyamanku ini, tapi apa boleh buat? Hidup memang seperti itu kan? Masing-masing punya jalannya sendiri.

Seminggu yang lalu, salah satu dosen di kampusku memberikan kami tugas yang susahnya bukan main. Tidak, sebenarnya tidak susah kitanya saja yang terlalu lebay menghadapinya. Sebagai mahasiswa wajar-wajar saja kami merasa seperti itu, karena tugas yang kami terima bukan hanya dari satu dosen tapi ada beberapa dosen lainnya yang juga memberi tugas dalam waktu yang bersamaan, pun dalam tenggat pengumpulan yang tidak begitu lama.

Tulisan ini mungkin juga sebagai perwakilan dari sekian banyak mahasiswa dikampus untuk para dosen-dosen. Tolong kalau mau memberi tugas, berikanlah tugas yang tidak terlalu banyak juga tidak terlalu susah. Kami tahu posisi kami adalah seorang intelektual yang mau tidak mau harus mau, suka tidak suka harus suka. Tapi tak apalah, mungkin maksud dosen-dosenku itu baik, sekalian latihan menahan tidur karena selama ini kita terlalu lelap dan nyenyak dalam tidur yang seakan melatih kita untuk meninggal.

Kau tahu? Aku tahu kau tak pernah mau tahu urusanku tapi aku tak peduli. Sebernanya dosen-dosenku semuanya baik, karena walau tugas yang diberikan agak banyak, tapi mereka memberi kami waktu yang bisa dibilang cukup untuk membuatnya sampai selesai. Dan sifat sombong mahasiswa rata-rata selalu muncul jika tenggat waktu pengumpulannya lama, karena mereka berpikir mereka pasti bisa menyelesaikannya dalam waktu satu hari saja.

Pola pikir seperti itu yang tertanam dalam diriku sejak awal masuk kuliah, kalau kau mau tahu, setiap dosen memberikan tugas, aku selalu membuatnya sehari sebelum tugas itu dikumpul. Tapi bukan aku saja, hampir semua mahasiswa memiliki sifat sombong ini. Dan ujung-ujungnya apa? Kami kewalahan sendiri dan mengeluh sambil marah-marah tak jelas. Entah menyalahkan dosen, waktu, atau juga menyalahkan diri sendiri yang terlalu menganggap enteng suatu pekerjaan. Lucu memang, tapi yaa seperti inilah kehidupanku.

Aku sedih, sebab akan ada episode-episode tambahan lainnya yang membuat kedua orangtua ku harus lebih keras lagi dalam bekerja memenuhi kebutuhan kuliahku. Beruntung bagi mereka yang dilahirkan dari kedua orang tua yang berpunya, sedangkan aku terlahir dari orang tua yang kadang masih meminjam uang sana-sini untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi aku tetap bersyukur memiliki kedua orang tua yang begitu hebat dalam membesarkanku.

Kuperhatikan rambut Ayah yang hampir keseluruhannya sudah berwarna putih, juga urat-urat yang menonjol di kedua tangannya karena selalu berkutat dengan benda berat setiap harinya. Laki-laki paruh baya yang kusebut Ayah itu sudah tidak sekuat dulu. Hanya saja postur badannya yang belum kunjung membungkuk. Namun, aku percaya, ayah memang sudah tak sekuat dulu.

Sorot mataku beralih pada Ibu. Kulihat perempuan itu pun sama halnya. Semesta seolah tak ingin memberi keringanan, tak ada satu pun hari yang terlewatkan tanpa menambahkan kerutan di wajah Ibu lebih dulu. Hadiah itu seperti peringatan tersirat untukku bahwa sejauh sekarang ini, aku tidak bisa hanya berdiam diri saja.

Ayah, Ibu, sebentar jangan pergi dulu, tunggu dulu hasil dari usahaku yang tinggal sedikit lagi. Tak pernah kulewatkan di setiap sujudku untuk melangitkan kepada Tuhan agar selalu memberiku kesempatan membahagiakan kalian, agar Tuhan senantiasa memberi nikmat sehat dan umur panjang pada kalian.

Sabar ya Ayah, Ibu, anakmu ini akan secepatnya berhenti menjadi beban kalian. Aku tahu tetesan keringat yang kalian berikan untukku takkan mampu kubalas hanya dengan tetesan air mata bahagia disaat aku memakai toga kelak nanti. Maka tunggulah dulu sebentar, dan saksikan anakmu ini.