Biaya Ambulance Rp350 Ribu, Hasrul Nilai Sula Bahagia Gagal
SANANA (kalesang) – Sula Bahagia yang sering Bupati Fifian Adeningsi Mus jadikan senjata untuk menaklukkan masyarakat, ternyata dinilai gagal. Sebab masih ada diskriminasi publik terkait dengan pelayanan kesehatan.
Advokat dan pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Hasrul Buamona menilai Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kepulauan Sula (Kepsul), Suryati Abdulah telah melakukan diskriminasi publik terkait pelayanan kesehatan pada mobil ambulance yang berada di Puskesmas Fuata, Kecamatan Sulabesi Selatan.
Lelaki yang bergelar doktor itu menilai, jargon kepemimpinan Bupati Fifian Adeningsi Mus, dengan sebutan Sula Bahagia telah gagal. Buktinya, dalam kebijakan pelayanan kesehatan yang terjadi dilakukan Kepala Puskesmas Fuata Ikbal Soamole yang bebankan pasien yang bukan sebagai peserta BPJS akan dikenakan biaya Rp300 ribu saat gunakan mobil ambulance.
Hasrul sangat kaget ketika Kadinkes Kepsul, Suryati Abdullah ikut membenarkan bahwa pasien umum bila dirujuk dari puskesmas ke RSUD Sanana harus membayar biaya kurang lebih Rp350 ribu.
Jika berdasarkan pada konstruksi kebijakan hukum publik, lanjut Hasrul, maka di situ terjadi diskriminasi. Sebab, di dalam konsederan undang-undang kesehatan sangat jelas bahwa pelayanan kesehatan harus bersifat non-diskriminasi.
Tentu, kata Hasrul, dalam konstitusi Pasal 28 (h) dan Pasal 34 ayat (3) UU Dasar 1945, negara mengakui kesehatan warga negara yang di mana negara mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan.
“Maka dari sini seharusnya puskesmas sebagai pelayanan publik yang di kelola Pemerintah Pusat maupun daerah dalam hal ini bupati maupun Ketua DPRD, mestinya menganggarkan biaya untuk ambulance. Supaya masyarakat di level bawah tidak terbebani.” Kata Hasrul kepada kalesang.id, Rabu (29/6/2022).
Untuk saat ini, Hasrul menambahkan, Kepulaun Sula sendiri baik di Pulau Sulabesi maupun Pulau Mangoli kelayakan jalan belum memadai. Apalagi Puskesmas Fuata ke RSUD Sanana jaraknya sangat jauh. Diketahui masyarakat yang berada di sana secara ekonomi sangat terbatas.
“Sebagai seorang kepala dinas harusnya berani meminta kepada bupati agar bisa dianggarkan pada APBD-Perubahan. Sehingga masyarakat yang bukan sebagai peserta BPJS tidak terbebani dengan biaya ambulance.” Pintanya.
Hal semacam ini, kata Hasrul, tinggal saja bupati dan wakil bupati bersama DPRD Kepsul membijaki hal-hal teknis penganggaran terkait mobil ambulance di seluruh puskesmas.
“Itu dilakukan agar masyarakat tidak lagi merasa beban untuk menanggung biaya ambulance.” Pungkasnya.(tr-02)
Reporter: Karman Samuda
Redaktur: Junaidi Drakel