Oleh:Yunita Kaunar
15 Oktober 2022
“Sebelum ku tuliskan catatan ini, ku sempat mengusap air mata terlanjur mengalir tiba-tiba pelipis mata. Sebab Tuhan menyentuh dada lewat senyum perempuan paruh baya. Seolah-olah menjahit luka robek yang berulang-ulang kali.”
Pukul 12: 00 siang
Siang panas membakar Kota Ternate Maluku Utara, sebuah kota indah dan bersejarah. Tumpukan bakul tersusun rapi oleh pemiliknya, aroma buah-buahan dan sayuran bersatu. Wajah keriput lelaki pencari rezeki berbaris bersama kendaraan roda dua di halaman parkiran pasar Barito Bahari Berkesan, nampak keringat bercucuran masih membentuk garis tiap kaos lelaki itu.
Menawarkan jasa menghantarkan penumpang dimana saja, begitu mata petugas parkiran ke arah lain. Kendaraan yang tadinya tersusun rapi di tempat parkiran tiba-tiba berantakan. Mungkin, harus lebih serius lagi mengawasi.
Sebelum malam datang, di pusat kota tampak nuansa romantis sang senja, langit kemerahan dan matahari yang tenggelam dan menenangkan jiwa. Nia, wanita asal Tidore ini menikmati senja di taman Nukila, taman menjadi salah satu kebanggaan masyarakat setempat.
Pukul 16: 30 sore
Niat hati, ingin menunaikan sholat magrib di Masjid sekitar, sebuah cerita mungkin pertama kali ku catatan dalam sebuah buku harian selalu ku simpan dan dibawah kemana pun. Sebab, bertemu seorang nenek berpakaian lusuh, uban kepala terlihat serta berjalan menggunakan tongkat.
Wanita itu, berjalan mulai tak normal lantaran mata sebelah kirinya mulai rabun. Tertatih-tatih dan sesekali ngos-ngosan, maklum usia lanjut mempengaruhi fisiknya.
Bakul diletakkan di atas kepala berisi fuli pala dan sisa jualan hasil kebun itu sebelumnya diberi kain agar saat bakul di ujung kepala tidak terasa sakit. Tepat di depan parkiran taman Nukila aku pun menyapanya.
“Nenek dari mana, kok jalan kaki dan di bakul itu apa,”tanyaku.
Perlahan-lahan ia membuka mulutnya dan berkata bahwa ia dari pasar Pasar Higienis Bahari Berkesan setelah berjualan hasil kebun. Karena harga fuli pala tidak sesuai diinginkan maka ia membawa kembali pulang.
Aku berfikir memang benar sikap diambil seorang nenek. Sebab sejarah mencatat kedatangan bangsa-bangsa Eropa memburu dan berambisi menguasai rempah-rempah termasuk di Ternate karena memiliki nilai jual tinggi. Namun, kenapa kini harga fuli pala kering mulai menurun.
“Nenek dari pasar,” singkatnya.
Aku pun mengajak duduk di sekitar taman untuk mengobrol lebih jauh, menanyakan mulai dari asal hingga berapa cucu dimiliki. Namanya nenek Amina, hidup sebatang kara, setelah suaminya meninggal dunia lima tahun terakhir karena sakit.
Situasi memaksa untuk bertahan hidup dengan bertani walaupun kondisinya sangat memprihatinkan. Sebagai seorang perempuan hati tersentuh, di usianya beranjak 60 tahun itu hidup kesepian. Air mataku mengalir setelah mendengar cerita dari mulut terbata-bata.
“Oh iya ! Nek nama saya Nia, saya sebagai wartawan. Kebetulan selesai kerja jadi duduk di taman,” kataku.
Aku pun mengeluarkan sedikit uang untuk diberikan ke Nenek Amina, dan memesan driver gojek untuk mengantarkan Nenek kediamannya. Aku tak bisa berlama-lama lantaran harus menunaikan ibadah sholat Magrib sempat tertunda. Bagi ku sosok Nenek Amina adalah perempuan bermahkota fuli pala yang hebat.
Usai sholat, diakhir doa ku, ada kata sempat terucap di lidah memohon sang penguasa semesta membuka rezeki kepada Nenek Amina.(***)