Membaca Realitas

Sarjana Hukum dan Daun Selada

TIDORE (kalesang) –  Galing Kalam (31), seorang pria asal Tidore lulusan Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Sulawesi Utara 2017 silam, kini namanya tumbuh besar seiring dengan benih selada yang ia semai di sebuah kebun hidroponik yang diberi nama “Kabong Cahaya”.

Filosofi penamaan kebun tempat Galing menyemai sayur Selada hingga panen terbilang cukup unik, yang mana kata “kabong” berasal dari bahasa setempat yang artinya kebun, sedangkan cahaya sendiri merupakan elemen paling vital bagi mahluk hidup, termasuk juga Selada.

“Jadi, kabong cahaya ini, kebun yang menghidupkan karena sayuran merupakan makanan.” Jelas  Galing.

Dia bercerita sebelum menjalani profesinya sebagai seorang petani hidproponik seperti sekarang ini, setelah lulus kuliah sempat ke Jakarta untuk menambah pengalaman hidup.

“Tujuan awal ke Jakarta waktu itu sebenarnya ingin merantau cari-cari pengalaman saja. Kalau tidak salah pada November 2017 setelah wisuda.”Ucap pria kelahiran Tidore, 29 Februari 1992 itu.

Di Jakarta awal  tahun 2018, Galing diterima bekerja sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Bidang Pembangunan Kawasan Pedesaan Kementrian Desa.

Meskipun begitu, kiprahnya di Jakarta tidak terbilang lama. dua tahun bekerja di Kemendes, Galing memutuskan berhenti diakhir tahun 2019 lalu pulang ke Maluku Utara, niat awal karena berniat lanjut S2 di Universitas Khairun Ternate.

“Tujuan saya pulang itu karena ingin lanjut S2 di Unkhair. Namun sebelum lanjut  S2 saya menikah pada tanggal Maret 2020 lalu.” Ujarnya.

Meskipun sudah menikah, istrinya Asdina Sumarni tetap memberikan support agar tetap melanjutkan niatnya mendaftar S2.

Nasib berkata lain, belum lama kuliah, Indonesia dilanda pandemi Covid-19 sehingga ekonomi keluarganya terpuruk.

Di titik tersulitnya, Galing tidak kehilangan asa meskipun belum memiliki pekerjaan tetap untuk menghidupi keluarga. Saat itu, timbul ide menanam sayur. Sebab menurutnya, sayur merupakan kebutuhan hari-hari jadi setiap hari tentu ada pemasukan.

Setelah melihat peluang tersebut, diajaklah dua orang sahabatnya yakni Hasan dan Jamil untuk sharing. Dari diskusi itu, mereka sepakat untuk bikin Greenhouse pada sebuah lahan kosong milik Ayah Galing di Kelurahan Tomagoba, Kecamatan Tidore yang kini dikenal sebagai Kabong Cahaya.

Awalnya kata Galing, sahabatnya Jamil yang saat itu sudah bekerja disebuah Bank meminjamkan sejumlah uang, sedangkan dirinya dan Hasan yang belum punya penghasilan harus patungan.

“Modal awal yang kita kumpul untuk bangun greenhouse berukuran 7×6  ini sebanyak Rp15 juta.”Katanya.

Uang tersebut, digunakan untuk beli kayu, pipa serta bahan dasar greenhouse idaman mereka bertiga.

“Setelah semua bahan lengkap, kita mulai bangun greenhouse. Waktu itu hari Jumat minggu pertama bulan September 2020.” Tuturnya.

Satu bulan Greenhouse impian berhasil dibangun, Galing bersama kedua sahabatnya mulai mempelajari cara menanam sayur melalui artikel di internet, maupun channel youtube.

“Kita belajar otodidak, Hasan fokus belajar cara semai benih, Saya dan Jamil fokus cara merawat tanaman seperti menghitung PH air dan menjaga kadar nutrisi, serta sistem tanam agar setiap hari tetap ada  persediaan.”Ucapnya.

Selain itu, dia bersama rekannya juga melakukan survey pasar. Hasil survey selada saat itu di Maluku Utara paskannya sedikit namun permintaannya cukup menjanjikan.

Akhirnya selada dipilih sebagai tanaman utama Kabong Cahaya namun untuk lamgkah awal digagaslah strategi menanam kangkung untuk menarik pembeli.

“Jadi ketika pembeli datang membeli di kebun, kita bisa menawarkan selada secara langsung, tujuannya untuk mengenalkan ke masyarakat bahwa Kabong Cahaya ada selada.”Bebernya.

Proses tidak menghianati hasil, itulah kira-kira yang dialami Galing dan kedua sahabatnya. Kebun impian bersama itu berhasil panen pertama kali pada 28 Oktober 2020 setelah satu bulan lamanya ditanam.

Kebun hidroponik seluas 7×6 meter persegi itu berhasil memproduksi 1.500 pohon sayur, namun lantaran belum memliki pasar tetap hasil panen itu dititip ke pedagang sayur di Ternate untuk dijual. Per pohon diberi harga Rp5 ribu.

“Hasil panen pertama itu kita bagi sama rata yaitu masing-masing dapat Rp750 ribu, setalah buka biaya operasional sebesar Rp1 juta. Alhamdulilah kita tetap bersyukur dengan pendapatan pertama bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga.”Ungkapnya.

Merasakan hasil kerja keras, mendorong Galing CS untuk terus melesat maju. Semangat membesarkan Kabong Cahaya yang menggebu-gebu meskipun bermodal seadanya. Tepatnya pada 14 februari 2021, kabong cahaya mendaftar sebagai peserta Festival UMKM di penginapan visal, Kelurahan Gamtufkange Kecamatan Tidore.

“Kita ikut festival ini hanya niat promosikan kabong cahaya saja.” Terangnya.

Lagi-lagi, niat baik itu berbuah manis, Kabong Cahaya keluar sebagai juara satu dengan kategori UMKM produktif di Tidore.

“Bonus juara satu itu Rp8 juta, kemudian kita tambah dengan hasil penjualan sayur sebesar Rp7 juta, jadi totalnya 15 juta. Itu kita pakai untuk bangun greenhouse di kampung istri saya yaitu Mareku Tidore Utara.” Ujarnya.

Ia kemudian menyewa sebuah lahan kosong milik warga Mareku lalu dibangun greenhouse seluas 5×5 meter persegi selama 4 tahun dengan biaya kontrak sebesar Rp3 juta. Hal itu kata dia, bertujuan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi lima orang pemuda setempat yang belum mempunyai penghasilan setelah lulus kuliah.

“Alhamdulillah mereka kesampingkan gengsi sebagai seorang sarjana dan memilih bergabung dengan kita, walau masyarakat beranggapan bahwa sangat  tidak elok kalau orang yang bergelar sarjana melakukan pekerjaan layaknya seorang petani.” Jelasnya.

Greenhouse di Mareku akhirnya berhasil dibangun 1 Juni 2021 berkat kerja sama. Hanya saja, ketika memasuki bulan Juli, Covid-19 kembali menyerang untuk yang kedua kalinya sehingga aktivitas produksi di Mareku belum bisa dimulai hingga Oktober. Hingga akhirnya, dua Greenhouse di Tomagoba dan Mareku beroperasi secara bersamaan dengan konsisten menanam satu jenis sayur saja yakni selada.

Galing mengatakan hasil Kabong Cahaya mulai dikenal dan menemukan pasar tetap di Weda, Halmahera Tengah, Sanana, Kepulauan Sula, dan Sofifi, Tidore Kepulauan, hingga penjualan sudah mulai stabil. Biasanya dipasok hari Selasa dan Jumat.

“Di dua hari itu, kita targetkan tidak boleh kurang dari 500 kilogram, deng per kilo kita beri harga Rp50 ribu. 500 kilo itu produksi greenhouse di Mareku sebanyak 200 kilo, dan Tomagoba 300 kilo.”Paparnya.

Sedangkan pada hari-hari lainnya, produksi selada hanya 100 kantong plastik dimana per plastik sebanyak 3 pohon selada yang harga per pohon sebesar Rp8 ribu.

“Ini dititip ke para tengkulak untuk dijual ke pasar konvensional, dan ke pemesan di wilayah Tidore dan Ternate. Produksi kita ini belum tembus keluar dari wilayah Maluku Utara karena terkendala kapasitas produksi kita per bulan yang masih diangka 300 hinggga 400 kilo.”Ungkapnya.

Hasil penjulan per bulan kata dia juga sudah meningkat dimana 7 orang yang bekerja di Kabong Cahaya termasuk dia, mendapat pembagian per bulan dikisaran Rp1 hingga Rp1,5 juta.

Jadi, meskipun dengan segala rintangan yang ia hadapi, ayah dari Arraihan Haykal itu tidak pernah merasa gentar menjalani profesinya sebagai petani. Baginya dalam dunia pertanian, modal uang bukan satu-satunya tolak ukur, melainkan menjaga konsistensi dan  berupaya untuk tetap progres.

“Bertani itu bukan hanya soal uang, tetapi konsisten menikmati proses dan alurnya. Karena apa yang kita tabur, itu yang akan kita  tuai.” Tandasnya.

 

Reporter: M. Rahmat Syafruddin

Redaktur: Wawan Kurniawan