Membaca Realitas
728×90 Ads

Ngaji Diri

Oleh: Syauki Subhan Lemasa

Malam begitu pekat dengan suhu di bawah rata-rata akibat hujan yang seharian merinai, barangkali ini yang menjadi sebab sunyi bergentayangan memenuhi seisi dusun.

Bagi mereka yang menyukai keramaian, sunyi adalah momok menakutkan. Tapi tidak dengan Arif, pemuda yang sedari kecil terbiasa menyendiri, baginya kesunyian adalah wahana paling seru dan asyik untuk bermain rasa dan rasio bersama gurunya–hidup dan kehidupan.

Berangkat dari kalimat “man ‘arafa nafsahu, faqat ‘arafa rabbahu; barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal tuhannya,” Arif melakukan satu ritus yang kerap ia takwilkan sebagai ‘ngaji diri’.

Sebenarnya ritus ini sudah menjadi kebiasaan Arif, hanya saja malam ini agak berbeda, entah mungkin karena suasana yang terbilang sangat mendukung dengan segala sepi dan lengangnya, atau apa pun itu, Arif tak peduli, ia sudah tak sabar melakukan pengembaraan imajiner ke dalam diri.

Dalam pengembaraannya, Arif mengunjungi silam, membuka satu persatu lembar yang tulisannya mulai pudar. Khidmat dan khusyu dibacanya peristiwa-peristiwa lalu yang telah lama ditanggal dan ditinggal. Sampai pada lembar kesekian, tetiba sadar menghampiri bahwa dari sederet rentetan kisah, ia–atau bahkan seluruh makhluk bernama manusia–tentunya takkan lepas dari yang namanya masalah.

Hal itu, Arif dapati ketika melihat di suatu hari ia hampir saja mengakhiri hidupnya akibat masalah yang menurut pengamatannya terlalu besar dan berat. Padahal yang menjadi soal adalah pembacaannya terhadap diri dan masalah yang keliru, alhasil ia menganggap kapasitas dirinya terlampau kecil ketika menghadapi masalah yang terbilang besar sampai-sampai mencipta sifat keputus asaan dan pesimisme dalam dirinya.

“Syukur-syukur aku mampu melewatinya dan enggan mengakhiri hidup,” ucap benaknya, bersyukur. “Tidak dunia tidak kejam,” lanjutnya lagi, enggan menyalahkan dunia, apalagi menyalahkan tuhan seperti yang telah dilakukan kebanyakan orang.

Bagi Arif, masalah dan manusia memang sudah ditakdirkan untuk selalu bersama dan tidak bisa dilepas-pisah, sebab dengan begitu manusia mampu bereksistensi.

Artinya, manusia tanpa masalah adalah bukan manusia–kekosongan belaka–dan pada akhirnya ia takkan mahfum bahwa dia itu manusia (khalifa fil ardl/pemimpin di atas muka bumi).

Pikir Arif, masalah adalah proses bagaimana manusia mengenal diri, mengetahui potensi diri, sederhananya ‘tahu diri’ sampai pada puncak menjadi diri yang sejatinya–diri yang mampu mempertanggungjawabkan segala pikir dan tindak, bukan diri yang pakai jalan alternatif, lari menghindar atau menyalahkan orang lain ketika masalah menghampiri.

Dalam proses menjadi, selain menghadapi masalah, manusia juga dihadapkan dengan manusia lain bahkan alam, pun segala penghuninya.

Sehingga terjadi benturan permasalahan antar sesama makluk (ciptaan) yang terkadang membawa manusia menjadi lupa diri, lupa diri ini yang menyebabkan Arif berpikir ingin mengahkiri hidupnya kala itu. Selain ke arah pesimis, lupa diri juga kerap membawa manusia ke sifat optimis berlebih dan jatuhnya kepada keakuan–egoisme, dari sini cikal bakal tindakan merusak alam dan tatanan hidup sesama makhluk itu menjadi tegak dengan dalih manusia adalah pemimpin dan pemimpin itu punya kuasa.

Pengembaraan imajiner Arif malam ini mencapai titik klimaks, baginya, yang paling bahaya dari proses menjadi adalah yang membawa manusia pada lupa akan diri, tak peduli ke arah pesimis atau optimis, lupa diri bisa dikonotasikan pada sesuatu yang bermakna negatif sehingga sulit untuk berdamai dengan diri, bagaimana cara berdamainya jika kita (manusia) lupa pada diri sendiri? Pada akhirnya, pengendalian diri pun terasa amat susah, apalagi mengendalikan alam dalam arti mengelolah segala permasalahan di dalamnya, jangan mimpi!

“Ternyata ini toh yang menjadi asbab kebanyakan orang susah menyelesaikan masalah dan lebih memilih lari dari masalah–menyalahkan orang lain, memfitnah orang lain, dsb, dsb…” ucap Arif sedikit berbisik sembari diikuti tawa kecilnya. “semoga kita semua terhindar dari menjadi orang yang lupa diri, amiin.” Pintanya, lalu bergegas menuju pembaringan.(*)

728×90 Ads