Hasil Riset WALHI Malut di Perairan Pulau Obi dan Teluk Weda, Terindikasi Pencemaran Logam Berat
Status Kualitas Air Perairan Terakumulasi Hingga Kebiota Laut
TERNATE (kalesang) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara menggelar publikasi hasil riset terkait kerusakan ekologi diakibatkan oleh industri ekstraktif nikel di Halmahera Tengah dan Pulau Obi yang merupakan program strategi nasional, berlangsung di Hotel Ayu Lestari, Rabu (15/11/2023).
Selain seminar hasil riset kehancuran ekologi pesisir dan pulau-pulau kecil di Halmahera Tengah dan Pulau Obi dirangkaikan dengan pemutaran film dokumenter “Sagea Benteng Terakhir”.
Dalam pemaparanya, Dr. Muh. Aris, S.Pi, MP selaku peneliti, mengatakan yang dilakukan ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan pertama kali melakukan riset di tahun 2019 di Pulau Obi.
“Ternyata selama ini tidak ada yang menulis dan tidak ada publikasi tentang dampak yang ditimbulkan oleh pengusaha tambang ini, publikasi itu tidak ada, makanya kalau ada bisa jalan bersama-sama, masing-masing dari kita ambil peran dan kompetensi masing-masing, kebetulan saya keilmuan di kesehatan laut, saya mencoba untuk mengungkap beberapa hal. Hasil riset saya sudah tiga tahun mulai dari tahun 2019, 2021 dan 2023 jadi data dari tiga tahun tersebut menunjukan bahwa memang ada ancaman laut di Maluku Utara.” Bebernya.
Hampir semua, kata Aris, ikan yang kami teliti dari usus, hati itu sudah mengalami kematian sel, artinya tidak sehat lagi ikan-ikan ada di Teluk Weda.
Penambangan bijih nikel oleh kelompok perusahan di sekitar Teluk Weda dan Pulau Obi marak terjadi diperkirakan akan menambah tekanan lingkungan bagi perairan.
Untuk status kualitas air perairan di kawasan teluk Weda dan Pulau Obi terindikasi mengalami pencemaran dan tingkat pencemaran tersebut bahkan telah terakumulasi hingga ke biota laut seperti kima dan ikan.
“Jika biota laut terpapar logam berat, itu sangat bahaya karena logam berat bersifat toksik dan dapat membahayakan masyarakat sekitar.” Jelasnya.
Sementara itu, Dr. Aditiawan Ahmad S.Pi, M.si,peneliti mengungkapkan, perubahan hutan pantai dan hutan mangrove Kecamatan Weda Tengah selama periode 2012-2015 terjadi perubahan luas lahan sebesar 12, 82 persen atau 4, 27 persen per tahun. Dikarenakan adanya ekstraktif tambang di dua wilayah Obi dan Weda Tengah.
“Selama periode 2015-2023 terjadi perubahan luas lahan sebesar 11, 85 persen atau 1, 48 persen per tahun. Jumlah total luas lahan hutan pantai dan hutan mangrove yang dikonversi selama periode tahun 2012-2023 adalah 491, 93 Ha atau 23, 15 persen selama 11 tahun,” jelas Aditiawan.
Jika hutan mangrove dan hutan pesisir habis, sudah pasti, berpengaruh terhadap kehidupan biota laut itu sendiri.
Ancaman ekologi dan pulau-pulau kecil ini menjadi isu global dan ini menjadi ancaman serius terhadap masyarakat yang mendiami lingkar tambang, berdampak secara langsung.
Direktur Walhi Maluku Utara Faizal Ratuela, dalam seminar menyampaikan bahwa, Pemerintah Indonesia memiliki ambisi yang sangat besar terhadap pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai nikel.
Terkait dengan itu, pada 8 Agustus 2019, Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
Penerbitan Perpres tersebut ditujukan untuk meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi, serta mewujudkan energi bersih, kualitas udara bersih, ramah lingkungan, dan menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan cara mendorong percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan.
Meskipun di atas kertas terlihat indah, tetapi ambisi pembangunan industri kendaraan listrik justru melahirkan berbagai tragedi ekologis.
Di sinilah urgensi mengkritisi pertambangan nikel, terutama di pulau-pulau kecil seperti Maluku Utara yang memiliki kerentanan serius dari ancaman bencana, di antaranya gempa bumi dan tsunami, serta ancaman kenaikan air laut akibat krisis iklim.
Nikel telah menjadi material primadona dalam perdagangan global, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis oleh Aksi Ekologi Emansipasi Rakyat (AEER) dalam dokumen penelitian yang berjudul Rangkaian Pasok Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekologi, tercatat pada 2013 Indonesia telah mengekspor bijih nikel mencapai 64,8 juta ton dengan nilai USD 1,6 milyar.
Pada tahun yang sama, Indonesia menjadi pemasok utama bijih nikel ke Tiongkok (50%). Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar dunia, yaitu 23,7% dari total cadangan dunia.
Tiga daerah dengan kandungan nikel terbesar adalah Sulawesi Tenggara (32%), Maluku Utara (27%), dan Sulawesi Tengah (26%). Dengan demikian Maluku Utara merupakan provinsi yang ditargetkan sebagai lokasi pertambangan nikel penunjang pengembangan baterai listrik.
Secara geografis Provinsi Maluku Utara terletak di antara 3° Lintang Utara sampai 3° Lintang Selatan dan 124° – 129° Bujur Timur serta terbentang dari utara keselatan sepanjang 770 Km dan dari barat ke timur sepanjang 660 Km. Luas wilayah Provinsi Maluku Utara secara keseluruhan sebesar 145.801,1 Km2 meliputi luas wilayah daratan 31.982,50 Km2 (21,94%) dan wilayah perairan seluas 113.818,60 Km2 (78,06%) dengan panjang garis pantai sepanjang 6.644 Km.
Provinsi Maluku Utara yang sebagian besar wilayahnya berupa laut, memiliki 856 buah pulau. Pulau-pulau yang tergolong besar antara lain Pulau Halmahera (18.000 km2) dan pulau- pulau yang ukurannya relatif sedang yaitu Pulau Obi (3.900 km2) dan Pulau Taliabu (3.195 km2), Pulau Bacan (2.878 km2) dan Pulau Morotai (2.325 km2). Pulau-pulau yang relatif kecil antara lain Pulau Ternate, Tidore, Makian, Kayoa, Gebe, dan sebagainya.
Kawasan hutan dan perairan di Maluku Utara tercatat seluas 2.515.220 ha, terdiri dari 584.058 ha hutan lindung, 666.851 ha hutan produksi terbatas, 481.730 ha hutan produksi tetap, 564.082 ha hutan produksi konversi, 218.557,48 ha taman nasional, suaka alam dan konservasi alam, dan sisanya seluas 11.610,13 ha merupakan perairan.
Luas daratan hanya 31.982,50 km2 (21,94%) dibanding wilayah perairan seluas 113.818,60 km2 (78,06%). dengan luasan daratan yang sangat kecil tersebut justru pemerintah memprioritaskan alokasi ruang untuk kepentingan industri berbasis konsesi yang berskala besar.
Data Walhi Maluku Utara, luasan hutan di Maluku Utara yang telah dibebani izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan 76.800,51 Ha, 11 Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) seluas 609.119 Ha, 4 Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) seluas 59.138 Ha, 4 Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Rakyat (IUPHHK-HTR) seluas 19.438 Ha, dan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan (HGU) seluas 17.565,07 Ha.
Sementara di sektor pertambangan dengan jumlah 124 IUP seluas 667.964,98 Ha yang tersebar di berbagai kabupaten/kota.
“Perluasan industri nikel semakin masif menghancurkan alam yang ada di Maluku Utara.” Tegas Faizal.
Melalui Perpres Nomor 109 tahun 2020 tentang Penetapan Dua Kawasan Maluku Utara sebagai Kawasan Proyek Strategi Nasional Pengembangan Industri Nikel, yakni Halmahera Tengah (Weda) dan Halmahera Selatan (Pulau Obi). Ambisi besar pemerintah Indonesia mengembangkan kendaraan listrik berbasis baterai nikel justru menciptakan bencana bagi warga di daerah tempatan.
“Dalam satu decade terakhir, marak terjadi deforestasi dan degradasi hutan, perampasan lahan pertanian, rusaknya sumber air minum, hancurnya pangan lokal, polusi udara, pencemaran pesisir laut, dan warga kehilangan wilayah kelolanya.” Beber Faizal.
“Kendaraan listrik berbasis baterai nikel merupakan solusi palsu menghadapi krisis iklim yang sejatinya diciptakan oleh pola pembangunan yang rakus lahan.” Tegas Faizal.
Redaktur : Yunita Kaunar