Putus Koneksi: Cerita Masyarakat Wasile Selatan dalam Mengakses Internet
HALTIM (kalesang) – Tiba-tiba saja jaringan kami hilang, ketika masuk di Kecamatan Wasile selatan, Kabupaten Halmahera Timur. Ila sahabat kami di sana sudah meramalkannya sebelum kami angkat kaki dari pelabuhan Sidangoli Gam, Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Tadi jaringan internet di Desa Nusa Jaya, Kecamatan Wasile Selatan hilang saat dia mengirim pesan Whatsapp.
Benar saja, jaringan hilang pada separuh perjalanan menuju kawasan Wasile Selatan Desa Pintatu. Perjalanan bermotor menuju wilayah selatan dari Kecamatan Jailolo ke arah selatan ini memakan waktu sekitar satu jam. “Jaringan,” kata Ila dalam pesan whatsapp.
Sambil menunggu balasan pesan dari Ila, saya menyapukan pandangan ke hamparan kebun kelapa yang berada di sebelah kiri jalan. Sementara sebelah kanan, terlihat sepetak para-para mengepulkan asap. Kami kerap berpapasan dengan perempuan yang pulang dari ladang dengan saloi membawa pisang dan buah kelapa.
Cuaca cerah seperti ini pula yang mengantarkan kami—pemilik motor Aji dan saya ke Desa Nusa Jaya, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur. Sebelumnya kami mulai berlayar dari pelabuhan Bastiong Kota Ternate, menaiki kapal feri pukul 10:30 WIT, bersama puluhan penumpang dengan kendaraan motor, hingga mobil truk.
Kapal feri kapasitas 10 ton itu membelah pesisir Maluku Utara tanpa diayun ombak. Bertenaga diesel 1300 PK, kapal tiba di pelabuhan Sidangoli Gam sekitar pukul 12.10. Di pelabuhan Sidangoli Gam pada awal Desember lalu, Ila—yang kami kontak sudah menunggu di desa.
Kabupaten Halmahera Timur terletak di bagian timur wilayah Provinsi Maluku Utara. Secara administratif Halmahera Timur terdiri dari 10 kecamatan, salah satunya Desa Nusa Jaya, Kecamatan Wasile Selatan yang akan kami datangi, berjarak 69 kilometer dari pelabuhan Sidangoli Gam, Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat.Di kabupaten tersebut, pertama kali saya terkesima pada suku Tobelo Dalam yang hidup dengan cara meramu dan berburu. Dandanan suku ini terlihat unik, memakai ikat kepala dari kain merah, tubuhnya telanjang dan hanya mengenakan kain merah untuk celana.
Ada juga Taman Nasional Aketajawe Lolobata, hutan lindung yang menyimpan keanekaragaman hayati Pulau Halmahera. Namun hampir separuh wilayah Kabupaten Halmahera Timur, telah dikelilingi oleh tambang ekstraktif, yang sewaktu-waktu dapat mengancam kehidupan masyarakat.
Perjalanan panjang itu akhirnya berakhir. Pukul 3 sore kami menepi di pangkalan mobil Telaga Biru DPU Wasile Selatan 03, Desa Nusa Jaya. Saya bersama Aji turun dari motor dengan rasa letih di badan. Terbayang selama lima hari ke depan, kami akan menjelajahi beberapa desa di Kecamatan Wasile Selatan yang memiliki keterbatasan akses internet.
Di pangkalan, kami dijemput Ila sahabat kami di sana. Ia menjemput dengan senyuman yang mengembang. Kata Ila, daerah Wasile Selatan memiliki akses internet yang tidak stabil. Kadang akses internet sering hilang, apalagi saat listrik padam, bahkan tidak padam sekalipun akses internet masih saja tiba-tiba hilang.
Kami meninggalkan pangkalan mobil menuju rumah yang akan kami diami beberapa hari ke depan. Saya dan Aji merencanakan perjalanan esok pagi, mengunjungi Desa Minamin yang tidak jauh dari desa yang kami menginap.
Meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah, hak masyarakat Halmahera Timur dalam mengakses internet belum merata. Salah satunya di Kecamatan Wasile Selatan, Desa Tabanalou, Waijoi, Saolat, dan Desa Minamin.
Pada bulan Juni 2022, laporan survey dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan tingkat penetrasi internet di Maluku Utara mencapai 68,6% berdasarkan kategori pulau. Sedangkan, kontribusi penetrasi internet mencapai 0,33%.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Halmahera Timur merilis catatan pada 2024, sarana komunikasi di Kecamatan Wasile Selatan mengalami perkembangan. Sebanyak 13 dari 24 desa Wasile Selatan telah memiliki menara telepon seluler, dan hampir seluruh desa memiliki sinyal yang kuat, dan sudah terjangkau sinyal 4G.

Minamin salah satunya, desa yang memiliki menara Base Transceiver Station (BTS) atau menara stasiun pemancar Telkom Bakti. Menara ini adalah infrastruktur telekomunikasi yang berperan untuk mewujudkan komunikasi nirkabel, antara jaringan operator dengan perangkat komunikasi.
Tugas utama menara ini adalah mengirimkan dan menerima sinyal radio ke perangkat komunikasi seperti telepon rumah, telepon seluler dan sejenis gadget lainya. Kemudian sinyal tersebut akan diubah menjadi sinyal digital yang selanjutnya dikirim ke terminal lainya menjadi sebuah pesan atau data.
Jaringan Terbatas
Warga Minamin menganggap kehadiran menara pemancar dapat memudahkan mereka mengakses internet dan telepon dengan stabil. Namun kehadiran menara, malah memperburuk kondisi jaringan di desa mereka.
Rabu 5 Desember 2024. Mobil Light Vehicle (LV) perusahan PT. MHM melaju seperti cheetah, saya berdebar karena mobil yang ada di sepanjang jalan lintas Halmahera tidak ada yang berjalan rata-rata normal. Pagi cerah seperti ini yang mengantarkan kami menuju Desa Minamin.
Desa pertama yang akan kami kunjungi berjarak sekitar 3 kilometer dari Nusa Jaya.
Kami sudah ditunggu Rifan (27), pemuda asal Minamin. Katanya dalam pesan whatsapp, dia akan menunggu di pangkalan tepat di depan jalan.
Sehari sebelum bertemu Rifan, Ila mengajak kami ke Desa Minamin. Kebetulan sore nanti dia dan Upi, akan ke desa tersebut untuk mengambil singkong, yang nantinya akan diolah menjadi keripik. Kami menyetujui untuk mengikuti mereka, sekaligus mengecek bagaimana kondisi jaringan di Desa Minamin.
Matahari hampir tenggelam, suasana desa Minamin begitu tenang ketika kami tiba pukul 17:30. Kami memutuskan untuk bertanya kondisi jaringan pada seorang pria yang sedari tadi memerhatikan kami dari depan rumahnya.
Ferdinan (56) begitulah namanya, kulit sawo matang dengan wajah yang mulai kerutan melepas senyum ketika kami mendekat menyalaminya. Telapak tangan yang kasar, memungkinkan saya untuk berfikir betapa jagonya pria paruh baya ini dalam memanjat kelapa dulu. Saya sering dengar teman-teman yang bekerja sebagai petani kopra di Halmahera, dalam sehari mereka bisa memanjat kelapa hingga 90 pohon.
Dia bilang jaringan di Desa Minamin sangat buruk, bahkan untuk dapat mengakses internet masyarakat harus ke pantai. Apalagi telepon seluler nyaris tidak ada.
“Tong (kami) pake HP pongo (sebutan HP nokia senter) untuk telpon biasa saja setengah mati,”ucapnya.
Tak berselang lama mengobrol, dia memanggil seorang pria dan ternyata itu anaknya Rifan, yang akan menemani kami selama liputan di desa tersebut. Dari sanalah kami berkenalan dengannya, dia berjanji akan menemani kami selama di Desa Minamin.
Desa Minamin memiliki jaringan yang sangat buruk, meskipun jaringan telepon dan data seluler terlihat di tampilan HP, tapi itu sebenarnya tidak berfungsi. Padahal desa mereka memiliki menara pemancar Telkom Bakti, namun adanya menara, jaringan di desa mereka semakin tidak stabil.
Langit mulai berwarna keemasan seiring matahari yang hampir tenggelam. Senandung jangkrik dan katak memecah kesunyian. Di tengah perbincangan, tiba-tiba seorang pria melintasi dari arah pantai, dengan motor scoopy hitam berpola sedikit kemerahan.
“Cari jaringan itu,” katanya sambil senyum.
Benar saja ketika dia menanyakan kepada pria tersebut, pria itu menyahut dan mengatakan bahwa di pantai ada jaringan internet, sambil terus berjalan, hingga menghilang dari pandangan. Kami pun meminta Rifan menemani ke pantai yang tidak jauh dari rumahnya itu.
Sepanjang perjalanan kelapa, mangga, hingga giawas menemani langkah kaki kami. Dari kejauhan pantai Ima tampak keruh seperti tercemar oleh limbah, sementara sebelah kiri dua anak perempuan tampak asik bermain melawan ombak, dan di sebelah kanan perahu nelayan berjejer rapi di sepanjang pinggir pantai. Jarak yang kami tempuh untuk menuju ke pantai Ima sekitar 300 meter dari pemukiman warga.
Selain akses internet yang tidak stabil, mereka merasa risau ketika listrik padam, karena Wifi yang menggunakan voucher akan ikut mati. Dalam sehari listrik bisa padam sampai tiga kali, mulai dari malam, siang, hingga sore, ketika listrik padam mereka akan ke pantai Ima untuk mengakses internet.
“Lampu mati kalau tong cari jaringan di pantai sama saja, kecuali tong pigi di Desa Ekor, atau di gunung Biagaro yang ada rumah-rumah dua tu, karena situ dia dekat dari Desa Ekor to,” tuturnya sambil menunjuk ke arah gunung Biagaro sebelum masuk Desa Minamin.

***
Nasib serupa juga dirasakan Marlon (38), seorang petani kopra. Dalam siraman matahari pagi, Rifan menuntun kami menyusuri lorong desa dari satu ke yang lain. Kami mengekor di belakang—sekitar lima menit berjalan kami pun tiba di rumah saudara kandung ayahnya.
Marlon berambut ikal dengan tubuh yang sedikit atletis, melempar senyum saat melihat kami, giginya yang sedikit kemerahan dengan kulit sawo matang terlihat sedikit menyeramkan. Di dalam rumah—Marlon kemudian mengeluarkan tiga kadera (sebutan kursi) plastik untuk kami.
Rumah Marlon tidak jauh dari menara pemancar Telkom Bakti. Sekitar 10 meter—menara itu berdiri tinggi menjulang menghadap langit. Sementara pagar pembatas tampak dikelilingi rumput liar. Katanya, menara ini ada sejak tahun 2022.
Menurut dia sebelum menara dibangun, mereka tidak terlalu sulit untuk mengakses jaringan—baik itu telepon atau internet. Namun usai dibangun, kondisi jaringan di desa semakin memburuk.
“Wiihh ampong langsung menderita sekali, memang paling menderita,” tuturnya dengan nada yang sedikit meninggi.
Akses internet yang tidak stabil di tambah lonjakan Covid-19 beberapa tahun lalu, siswa terpaksa harus belajar secara online. Belajar yang seharusnya di rumah, karena ketersediaan akses internet tidak dirasakan oleh siswa di Desa Minamin.
Pantai Ima menjadi saksi perjuangan Gloria—anaknya Marlon dalam mendapatkan pengetahuan, sebab akses internet yang tidak stabil mengharuskan dia bersama teman-temannya pergi ke pantai agar dapat mengakses internet.
Raut wajahnya tidak berbohong saat mengingat masa-masa Covid dulu. Rasa kekhawatiran seorang ayah pada anaknya yang mengakses internet hingga larut malam, terlihat begitu jelas. Mau tidak mau dia harus relakan anaknya ke pantai untuk dapat menyelesaikan tugas dari sekolah.
“Ki tong orang tua tong setengah mati, baku cari anak-anak, sampai lat-lat (larut malam),” ucapnya.
Kepala Sekolah SMA Taman Siswa Desa Tabanalou, Rusli Samad (38) menggunakan caranya sendiri guna memastikan peserta didik tetap belajar semasa pandemi Covid-19.
Dia meminta para guru mengunjungi siswa dari kompleks satu ke yang lain kemudian siswa di kumpul dalam satu atap untuk menjalani proses pembelajaraan. Walaupun waktu belajar yang singkat—proses ini mereka jalani hingga satu tahun.
“Alternatifnya itu tong (kami) pake cara dengan kunjungan ke rumah masing-masing siswa,” ucapnya.
Selain itu pelayanan administrasi guru yang membutuhkan akses internet, untuk mendukung kelancaran pembelajaran dan administrasi sekolah—mereka harus putar otak agar dapat menggunakan internet dengan stabil. Satu-satunya cara yang kerap mereka pakai untuk mengakses internet yaitu, menuju ke Desa Ekor.
Mereka harus menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer ke Desa Ekor untuk dapat mengakses internet.
Selain itu akses internet yang tidak stabil, membuat mereka cukup sulit beradaptasi dengan kebijakan Kementerian Pendidikan, sebab informasi terbaru dari Kementrian banyak yang tidak mereka ketahui.
“Jaringan ini kan media yang membantu torang guru-guru, kalau hadirnya internet yang bagus ini bisa memperlancar torang p (punya) aktivitas pembelajaran, karena segala hal sekarang ini butuh jaringan, kalao (kalau) tarada (tidak ada) jaringan ni repot lagi,” tuturnya.
Teknologi di Tengah Ketimpangan
Sementara, Kepala Sekolah SMP Negeri 2 SATAP Wasile Desa Waijoi, Bernatus Humati (55) berbagi cerita lain. Meski sudah ada fasilitas seperti komputer, chromebook, hingga tablet, mereka tidak dapat menggunakannya. Penyebabnya adalah keterbatasan akses internet.
Makanya siswa di Desa Waijoi tidak pernah merasakan belajar secara daring. Siswa dapat merasakan proses pembelajaran secara daring di saat berlangsung asesmen. Namun sialnya saat asesmen, mereka harus menempuh perjalanan sekitar 23 kilometer dari Desa Waijoi menuju ke Desa Ekor. Tujuan ini kata Bernatus agar siswa dapat mengikuti asesmen secara daring.
Sementara jarak yang cukup jauh, hingga memakan uang perjalanan sampai 2- juta lebih, Bernatus harus menginap di Desa Ekor bersama dengan siswa selama tiga hari, untuk menyelesaikan asesmen. Keputusan ini diambil karena dalam sehari biaya sewa kendaraan untuk membawa siswa ke Desa Ekor sebesar 500 ribu rupiah. Belum termasuk pengeluaran untuk konsumsi.
“Lebih baik tidur di sana,biar kontrol dong (mereka) makan saja,” ungkapnya.
Fluher Namotemo (15), siswa SMP Negeri 2 SATAP Wasile Desa Waijoi membenarkan hal tersebut. Fluher dan rekan-rekannya belum pernah latihan persiapan asesmen dengan menggunakan komputer. Padahal saat ini dia sudah duduk di bangku kelas tiga.
Menurut dia komputer di sekolah mereka itu ada, hanya saja keterbatasan akses internet yang membuat mereka tidak dapat latihan mengoperasikan komputer. Kesempatan latihan, baru mereka rasakan ketika waktu asesmen sudah dekat.
Masih segar ingatan di kepalanya, laki-laki yang biasa disapa Fluher ini menuturkan ketika masih duduk di bangku SD dulu, dua hari sebelum asesmen mereka harus ke Desa Ekor untuk latihan mengoperasikan komputer.
“Bingung waktu asesmen SD itu,” kata Fluher.

Hari berikutnya kami mengunjungi Desa Saolat, desa yang tidak memiliki menara BTS. Berjarak sekitar 8 kilometer dari desa tempat kami menginap. Di desa, kami sudah ditunggu Yulia Pihang (28), pendiri Literasi Perempuan Para-para Hininga Moi (Literasi PeRII).
Di desa, Yulia mengajak kami menuju Sungai Togorangot, tempat masyarakat mandi dan mencuci pakaian, dan tidak jauh dari pegunungan tempat biasa masyarakat mengakses internet.
Katanya akses internet di dalam desa sama sekali tidak ada. Mereka baru bisa mengakses internet dengan stabil ketika berada di pegunungan atau pantai.
“Kalo sekalipun itu ada jaringan, itu juga pake Starlink, baru masok kemarin tiga bulan yang lalu,” katanya merujuk pada layanan internet produksi Elon Musk berbasis satelit yang beredar pada orbit rendah Bumi.
Yulia juga menemani kami ke wilayah pegunungan, tempat yang biasa diakses warga saat hendak terkoneksi internet.
Jalan yang sedikit terjal dan tidak jauh dari sungai Togorangot itu tidak sulit kami lewati. Sesekali kami kerap berpapasan dengan beberapa perempuan yang membawa saloi, yang pulang dari ladang membawa pisang dan kacang. Jarak pegunungan untuk dapat mengakses internet dengan stabil sekitar 300 meter dari pemukiman warga.
“Harus ada di posisi ketinggian, kalau tidak pun posisi rendah cuman ada di pantai karena kalo di pantai itu berhadapan dengan tower dari Kao, mungkin tong dapat pemancar dari situ, Saolat ini menghadap ke Kao tepat perusahan NHM itu,” kata Yulia.
Selain itu alasan masyarakat menolak pembangunan menara BTS karena melihat kondisi jaringan di beberapa desa yang kian buruk, salah satunya di Desa Minamin. Sehingga dari situlah masyarakat Saolat menolak hadirnya menara BTS.

***
Seh Turuy dosen Informatika Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, saat dikonfirmasi pada 10 Desember 2024, mengungkapkan bahwa faktor yang menyebabkan menara BTS menjadi tidak stabil di desa-desa Kecamatan Wasile Selatan, salah satunya Bandwidth menara BTS yang terlalu kecil.
Selain itu dia bilang bahwa gangguan menara BTS juga terjadi karena adanya interferensi antara menara BTS Telkom dan menara Telkom Bakti Kominfo, sebab daya sinyal menara Telkom yang besar, dan hadirnya menara Bakti Kominfo akan akan mengalami gangguan sinyal.
Menurut dia untuk mengatasi ketidakstabilan jaringan di desa tersebut, salah satu dari tower harus dimatikan, agar sinyal yang terhubung di perangkat tidak mengganggu sinyal yang lain.
“Misalkan perangkat Telkom Bakti ini dimatikan, maka otomatis perangkat seluler itu akan memindahkan tangkapan sinyal itu ke tower merah putih,” katanya.
Sementara Jefri Kamudi Manager Mobile Consumer Branch Ternate, mengatakan bahwa yang harus dibedakan menara yang dibangun pemerintah dan menara yang dibangun operator Telkom.
katanya menara yang di bangun Telkom lebih besar, sedangkan yang ada di desa Kecamatan Wasile selatan merupakan menara kecil program pemerintah.
Menurut dia jaringan yang tidak stabil di beberapa desa di Kecamatan Wasile Selatan, disebabkan oleh menara yang dibangun pemerintah dan menara Telkom aktif secara bersamaan.
“Memang benar kondisi yang terjadi, kalau seandainya ada tower yang kami bangun tiba-tiba menyalah terus di sebelahnya ada tower Bakti otomatis akan terjadinya konjes atau masyarakat tidak dapat call dan mengirim data dengan baik,” ucapnya lebil lanjut “Yang saat mereka pakai kemungkinan besar ditangkap oleh yang tower Bakti makanya terjadi konflik di situ,” tandasnya. (*)
Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek SAFEnet
Penulis : Rifal Amir (Freelance)
Editor : Yunita Kaunar