Kalesang – Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah pada 5 September 2024 lalu, telah mengesahkan perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah 2012-2032 menjadi Perda nomor 3 Tahun 2024. Masa berlaku Perda Perubahan tersebut hingga 2043 mendatang. Dokumen 241 halaman dengan lampiran-lampirannya itu, telah berlaku sejak disahkan.
Sebenarnya Perda sebelumnya belum berakhir masa berlakunya yakni hingga 2032 mendatang. Perubahan Perda ini merupakan kebijakan secara nasional sebagai amanat Undang-undang penataan ruang Kawasan Industri yang baru. Selain adanya Undang-undang Cipta Kerja (OmnibusLaw) yang mengharuskan perubahan RTRW secara menyeluruh di Indonesia termasuk Maluku Utara. Proses dimulai sejak 2019 lalu. Namun terkendala covid 19 sehingga perubahannya dirampungkan pada 2024 lalu.
Ada beberapa alasan pada saat itu sehingga Perda RTRW diubah diantaranya karena perencanaan ruang harus disesuaikan kembali kebijakan pemda terutama karena ada beberapa kebijakan strategis. Lalu berikut, karena ada PSN IWIP, yang kalau berdasarkan Perda No 1. Pengembangan Kawasan Industri (KI) itu tidak bersesuaian dengan Perda RTRW yang berlaku, sehingga dilakukan perubahan untuk disesuaikan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan KI yang sudah ditetapkan Pemerintah pusat.
Saat ini kawasan industri IWIP luasnya mencapai 4. 027,67 hektar. Sementara luasan kawasan industri sebagaimana ditetapkan dalam perubahan Perda RTRW No 3 Tahun 2024 termaktub dalam Bab VI tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten, Paragraf 6 pasal 38 (1) yang membahas Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e, mengalami penambahan luasan menjadi 13. 784 hektare. Kawasan industri ini berada di Kecamatan Weda Tengah; Kecamatan Weda Timur; dan Kecamatan Weda Utara. Peruntukan industry sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah Kawasan Industri Weda Bay.
Untuk kawasan industri perusahaan sebenarnya mengusulkan penambahan lahan mencapai 15.517 hektar. Namun diakomodir dan tertuang dalam RTRW perubahan seluas 13.784 hektar. Perluasan ini, oleh pemerintah daerah dianggap sebagai bagian dari menindaklanjuti kebijakan nasional untuk pengembangan Kawasan Industri Teluk Weda, yang tercantum dalam RPJMN.
Perluasan kawasan industri sebagaimana tercantum dalam RTRW perubahan dikuatirkan akan semakin mengancam kehidupan warga. Terutama lahan perkebunan dan kawasan perlindungan lain. Saat ini saja lahan pertanian dan perkebunan terutama di daerah lingkar kawasan industri seperti Desa Lelilef, Gemaf dan Sagea sudah tergerus. Di ujung Selatan Desa Gemaf yang dulunya memiliki kawasan hutan mangrove kini telah berubah menjadi pusat kawasan industri.
Di Sagea misalnya, hutan sagu yang menjadi cadangan pangan warga telah masuk konsesi izin tambang. Hutan sagu yang oleh warga Sagea mengenalnya dengan aha sagu yang berada tidak jauh dari kampung telah masuk konsesi tambang. Luasan Kawasan hutan sagu ini diperkirakan mencapai 50 hektar.
Sementara perkebunan kelapa dan pala milik warga Sagea, sebelum ditetapkan masuk kawasan industri saja, sudah nyaris habis. Di desa ini 7 warga masih mempertahankan perkebunan mereka. Selain dari itu lahan sudah dijual ke perusahaan. Terutama lahan perkebunan di dekat kampung dan tepi jalan raya.
Di Desa Lelilef Sawai terdapat satu petani bernama Hernemus Takuling (60) yang menyisakan lahan kebunnya kurang lebih 8 hektar. Hernemus pernah dipenjara karena mempertahankan lahannya pada 2013 ketika awal masuk PT Weda Bay Nickel (WBN). Dia masuk penjara kala itu karena memimpin 66 warga memblokade jalan perusahaan PT WBN kala itu menuntut pembayaran ganti rugi lahan yang sesuai permintaan warga.
Di Desa Gemaf ada Max Sigoro (65) belum menjual lahan kebunnya. Max hingga kini masih mempertahankan kebunnya. Di desa Sagea dari 7 warga petani salah satunya adalah Anwar Ismail (69 tahun) masih mempertahankan kebun seluas kurang lebih 5 hektar. Lahan tak jauh dari Desa Sagea.
Anwar mengaku masih mempertahankan lahannya meskipun di sekelilingnya pemiliknya telah menjual lahan ke perusahaan tambang. Anwar mengaku tetap mempertahankan lahan kelapa, pala, dan cengkeh itu karena nanti diwariskan kepada anak cucu.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halmahera Tengah Munadi Kilkoda mengakui pengajuan perubahan RTRW Halmahera Tengah itu diajukan sejak masa kepemimpinan Bupati Edi Langkara sekira 2018. Hanya saja pembahasannya terkatung-katung, karena ada masalah tapal batas yang belum diselesaikan. Kata dia kala itu DPRD Halmahera Tengah masih berpegang pada Undang- undang yang mengatur tapal batas.
Namun proses pembahasan ini dikebut saat Halteng dipimpin Plt Bupati Halmahera Tengah Ikram Malan Sangadji. Ikram sendiri dilantik menjadi Plt Bupati menggantikan Edi Langkara yang telah memasuki akhir masa jabatannya pada Senin (26/12/2022) oleh Gubernur Maluku Utara (alm) KH. Abdul Gani Kasuba yang menjabat kala itu.
Dia dilantik berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 100. 2.1.3. -6272 tahun 2022 tentang pengangkatan penjabat bupati Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara. Ikram setelah dua tahun menjabat, masa jabatannya kembali diperpanjang hingga Pilkada 2024.
Di saat yang sama, Edi maju mencalonkan diri sebagai calon Bupati Halmahera Tengah. Saat kontestasi Pilkada 27 November 2024 lalu, Ikram M Sangadji berpasangan dengan Ahlan Djumadil bersaing dengan mantan Bupati Edi Langkara berpasangan dengan Abdurahim Odeyani, serta Mutiara Yasin berpasangan dengan Salim Kamaludin. Dalam Pilkada ini, Ikram M Sangadji dan Ahlan Jumadil terpilih menjadi bupati dan wakil bupati periode 2024 2029. Bupati dengan akronim (IMS-ADIL) itu dilantik secara serentak oleh Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Negara pada Kamis (20/2/2025).
Dalam perubahan dokumen RTRW ini, Munadi bilang, Ikram ngotot mendesak agar DPRD segera mempercepat perubahan Perda RTRW 2012-2032 yang akhirnya disahkan menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2024-2043. Desakan ini agar RTRW mengakomodir kepentingan usulan penambahan luasan kawasan industri Weda.
“Pejabat Bupati kala itu terlibat secara langsung mendorong agar ada perluasan kawasan industri. Dia beberapa kali mengundang pihak IWIP terlibat dalam rapat-rapat soal RTRW. Saya pernah protes meminta pihak IWIP tidak diikutkan dalam rapat pembahasan RTRW,” akui Munadi Desember 2024 lalu.
Mnadi bilang, dalam pembahasan revisi RTRW tersebut ada yang tidak beres. Sejumlah anggota DPRD Halteng yang awalnya menyepakati perubahan luasan kawasan Weda dari sebelumnya hanya 4000 ribu hektar, bertambah menjadi 8 ribu, namun setelah ada pertemuan DPRD dengan pihak PT IWIP di Ternate, luasan kawasan industri berubah seperti dibahas sejak awal.
“Belakangan diketahui pihak IWIP meminta perluasan kawasan Industri sampai 15 ribu hektar. Tapi dari usulan, difinalkan dan masuk dokumen Perda Nomor 3 2024-2042, seluas 13. 784 hektar. Saat pembahasan hingga diubahnya luas kawasan industri seluas itu tidak melibatkan saya. Padahal saya termasuk anggota Bapemperda Halteng,”katanya.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah melalui mantan Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan Daerah (Bappelitbangda) yang kala itu dipimpin Salim Kamaluddin, mereka beralasan Pemda Halteng ikut mendorong kawasan industri ini untuk pemerataan dan keadilan ekonomi.
Di Kecamatan Patani waktu itu mereka berpikir usul cadangan kawasan industri seluas 5 ribu hektar. Alasannya agar wilayah seperti Kecamatan Patani juga turut berkembang seperti di Weda. Karena itu ada usulan penambahan kawasan Industri di situ. “Sifatya hanya usulan saja, jika ditolak maka ditiadakan,” katanya.
Usulan penambahan kawasan industri dalam revisi RTRW ini diakui, melibatkan semua pihak, baik Pemerintah Daerah maupun DPRD. Dia bilang penambahan kawasan Industri ini sebenarnya bermula dari permintaan DPRD Halteng, sehingga Pemda turut mendorongnya. Semua pihak disebut terlibat mendorong revisi RTRW ini.
“Kalau ada yang bilang ada indikasi titipan luasan lahan wilayah industry seluas 5 ribu hektar itu informasi menyesatkan,” kilahnya.
Sementara soal massive-nya pembebasan lahan di Weda Tengah, Weda Timur; dan Kecamatan Weda Utara Halmahera Tengah. Kata dia, warga yang berkeinginan menjual lahan mereka. Proses pembebasan lahan biasanya perusahaan menyurat ke Pemda, setelah itu Pemda mengumpulkan pemerintah desa, untuk memastikan pembebasan lahan berjalan lancar. Termasuk lahan yang dijual warga benar- benar tidak bermasalah.
Berdasarkan dokumen Studi AMDAL Rencana Kegiatan Pengembangan Kawasan Industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park yang dipresentasikan di Ternate pada 17 November 2023, PT IWIP berencana melakukan perubahan dan penambahan beberapa kegiatan di dalam area kawasan industri PT IWIP. Dalam dokumen tersebut disebutkan hal ini sesuai dengan rencana induk kawasan industri.
Rincian rencana kegiatan pengembangan kawasan industri PT IWIP itu yakni, pengolahan dan pemurnian (smelter,red) feronikel dari 70 lines menjadi 80 lines. Pabrik ekstraksi logam menggunakan larutan berair (air atau pelarut lainnya) untuk memisahkan logam dari bijih atau bahan lain atau hidro metalurgi dengan proses HPAL (High Pressure Acid Leach) metode ekstraksi nikel dan kobalt dari bijih nikel laterit (limonit) dengan menggunakan asam sulfat pekat, suhu tinggi, dan tekanan tinggi dalam autoklaf dengan kapasitas 420.000 Ton nikel/tahun dan 50.000 Ton Cobalt/tahun, ditambah menjadi 240.000 ton nikel/tahun total menjadi 660.000 ton nikel/tahun.
Smelter battery litium karbonat (Li2CO3) yang merupakan bahan baku utama dalam produksi baterai lithium-ion. Litium karbonat adalah garam litium yang penting karena fungsinya sebagai prekursor dalam membuat bahan katoda dan elektrolit untuk baterai lithium-ion. Battery Lithium Carbonat 48.000 ton/tahun mengalami penambahan /tahun menjadi 96.000 ton /tahun.
Smelter nikel Sulfat 200.000 ton per tahun. Smelter nikel sulfat adalah fasilitas industri yang mengolah bijih nikel menjadi nikel sulfat, yang merupakan bahan baku penting dalam pembuatan baterai lithium-ion. Smelter nikel metal 200.000 ton per tahun. Side Blow Furnace adalah jenis tungku peleburan logam yang menggunakan udara yang ditiup dari sisi tungku untuk melarutkan logam. Tungku ini biasanya digunakan dalam proses pembuatan baja dan produksi logam lainnya.
Teknologi atau tungku tiup samping 32 lines. Ada juga penambahan PLTU dari 6560 MW menjadi 7320 MW. Pembangunan PLTS dari 1000 MW menjadi 2000 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dengan kincir angin sebesar 800 MW, Pelabuhan dari 1.100.000 Dead wight Tonnage (DWT) ukuran kapasitas angkut beban sebuah kapal menjadi 1.650.000 DWT. Ada juga pengambilan air baku yang sebelumnya hanya di sungai Kobe, Ake sake dan Wosea sebanyak 12000 M3/ jam akan ditambah lagi pengambilan air baku di Sungai Sagea dengan kapasitas 15000 m3/hari menjadi 27000m3/hari.
Selain itu juga ada penambahan tenaga kerja dari 50.000 menjadi 100.000 orang, serta rencana pengambangan laboratorium pengujian ore 3.000.000 ton per tahun serta penambahan pembangunan pabrik electrolytic nickel 30.000 ton per tahun menjadi 50.000 ton/tahun electrolytic nickel. Sesuai jadwal kegiatan pengembangan kawasan industri sebagaimana tertuang dalam dokumen studi AMDAl itu akan dilaksanakan hingga Mei 2026 nanti.
Fofo: Aktifitas Pengerukan Tanah PT. Frist Pacifik Mining (FPM) Desa Sagea.
Para Pemain Tanah di Kawasan PSN
Kawasan industri IWIP diberi ruang kelola mencapai 4.027,67 hektar. Meski begitu di lapangan muncul konflik lahan dan hilangnya ruang hidup petani. Kini luasannya diakomodir dalam RTRW naik menjadi 13,784 hektar. Hal ini memunculkan kekuatiran dari warga.
Masry Santuli tokoh pemuda Sagea yang bersama orang tuanya Anwar Ismail, masih pertahankan tanah kebunnya, kuatir penambahan luasan kawasan industri PT IWIP itu berdampak terhadap lahan lahan kebun mereka. “Ini ancaman sangat serius kepada kami. Ancaman kehilangan ruang hidup secara massive,” katanya.
Saat ini saja lahan lahan sudah nyaris habis. Apalagi jika ada pengembangan kawasan industri ke bagian utara Weda termasuk ke desa Sagea dan sekitarnya. Di Sagea saat ini nyaris sudah tidak ada kebun. Semua lahan di tepi jalan raya antara Desa Sagea menuju Desa Waleh semua sudah habis. Bahkan kawasan hutan mangrove saja dijual ke perusahaan tambang.
Tim penulis menemukan urusan ruang hidup dan lahan di kawasan PSN Weda Halmahera Tengah muncul masalah cukup pelik. Terutama saat negosiasi pembebasan dan pembelian lahan petani.
Dalam prosesnya ada keterlibatan banyak pihak. Selain perusahaan, pemerintah desa, makelar tanah tiap desa juga ikut bermain. Para makelar bekerja sama perusahaan, mendekati petani agar menjual tanah mereka.
Di momen penting seperti jelang hari raya keagamaan. Natal Desember atau jelang puasa Ramadhan dan hari raya idul fitri, mereka memanfaatkan kebutuhan mendesak dari warga. Akhirnya banyak yang tergiur dan menjual lahan mereka. Tidak hanya makelar, staf dan aparat desa juga ikut terlibat praktik ini.
Max Sigoro (65), warga Gemaf, termasuk di antara segelintir orang yang menolak menjual lahan kepada perusahaan. Salah satu alasan dia, karena perusahaan belum memenuhi kewajibannya membayar lahan yang mereka tawar sebelumnya.
Dia cerita, saat jelang hari Natal tahun lalu, pihak perusahaan mengajukan tawaran sebesar Rp2 miliar. Mereka paham waktu seperti itu masyarakat butuh uang lebih, sehingga tawaran ini dianggap menggiurkan. Lahan milik Maks Sigoro luasnya hampir 2 hektar dilengkapi sertifikat, namun pihak perusahaan tidak mencantumkan harga per meternya.
Mereka membuat penawaran suka suka saja. Jika sertifikat tidak ada, harga akan ditentukan sepihak. Meskipun ada sertifikat, pihak perusahaan menawarkan harga rendah.
Dia mengaku lahan di sekitar kebun miliknya sudah banyak digusur, saat ini tersisa lahan miliknya. Pihak perusahaan bahkan telah melakukan pengukuran lahan tanpa sepengetahuannya, dan ketika mereka menunjukkan peta hasil pengukuran, ada selisih 3. 000 meter. Sebab ukuran yang dicantumkan perusahaan hanya 11. 110 meter. Padahal luas lahan sebenarnya adalah 14. 955 meter.
Dia tidak setuju pengukuran yang mereka lakukan. Ada pengurangan yang dianggap merugikan. Dia curiga ada permainan. Tujuannya selisih luasan itu bisa dijual kembali mereka yang lakukan pengukuran.
“Saya belum bisa menyerahkan kebun saya kepada pihak perusahaan karena masih mengandalkan hasil kebun. Sampai masyarakat Desa Gemaf sudah menyerahkan semua kebun mereka ke perusahaan, barulah saya mempertimbangkan menjual atau tidak,” ujarnya.
Petugas pengukuran itu merupakan orang perusahaan yang harusnya bekerja jujur, namun yang terjadi mereka manfaatkan untuk meraih keuntungan dengan mengalihkan selisih luas lahan yang telah diukur dengan nama pihak lain sebelum dijual ke perusahaan.
Senada dengan Max, Abner Dowongi (50), warga Kobe Kulo mengungkapkan pada Januari 2024, Pemerintah Desa Kulo Jaya mengadakan rapat dengan masyarakat. Mereka membahas rencana pelepasan lahan desa yang akan disewa PT IWIP seluas 7 hektar. Dalam kesepakatan rapat, perusahaan mencairkan anggaran sewa lahan yang nanti dimanfaatkan untuk bangun masjid dan gereja. Sisanya dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk tali asih.
Warga sendiri sudah tahu jika pihak perusahaan telah membayar lahan ke pemerintah desa sebesar Rp 1,5 miliar, tetapi hingga kini anggaran itu tak kunjung direalisasikan sesuai peruntukannya.
“Karena itu, masyarakat bersama anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mendatangi rumah Kepala Desa Kulo Jaya, Fadli Sirajuddin, mempertanyakan pencairan anggaran itu dan kesepakatan pembagian dana seperti disepakati melalui rapat sebelumnya,” katanya.

Masyarakat Kobe Kulo palang kantor Desa karena Kades Gelapkan Harga Lahan sebesar Rp 1 Miliar
Terkait proses jual beli lahan di sekitar PSN Weda terutama di Desa-desa ring 1 PSN seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen dan Gemaf warga tidak punya dasar harga jual tanah dalam bentuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Karena itu ketika warga melepaskan hak lahan mereka kepada perusahaan, seringkali tidak diketahui secara detail luas lahan yang mereka jual, termasuk standar harganya. Informasi tersebut lebih jelas berada di Kepala Desa dan jajarannya, yang bertanggung jawab mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT).
Akhirnya warga menjual lahan kepada perusahaan, dengan harga sangat rendah, berkisar antara Rp8. 000 hingga Rp9. 000 per meter. Harga tanah ini ditetapkan oleh pemerintah daerah. Mantan Bupati Halmahera Tengah, Edi Langkara, saat menjabat Bupati periode 2017- 2022 menerbitkan SK yang menetapkan nilai tanah sebesar Rp 9. 000 per meter. Edy juga berinisiatif memediasi masyarakat dan perusahaan, yang menghasilkan pembayaran tali asih Rp 2. 500 per meter.
Hernemus Takuling, salah satu warga yang masih memiliki lahan kebun, mengungkapkan, bahwa lahan kebunnya itu adalah satu-satunya yang tersisa.
“Saya lebih memilih hidup sebagai petani dari pada bekerja di tambang. Banyak warga di sini tergiur menjual lahan karena iming-iming uang dari perusahaan. Dulu, perusahaan menawarkan harga Rp8 000 per meter untuk lahan saya, namun saya tolak dan meminta mereka membayar Rp7 miliar. Akhirnya, mereka mundur,” kisahnya.
Sekarang, lahan seluas 8 hektar tersebut merupakan satu-satunya kebun yang masih ada di sekitar desa Lelilef Sawai. Sementara sebagian besar lahan warga telah terjual atau digusur perusahaan.
Hernemus mengungkapkan keprihatinannya terkait penetapan harga lahan yang dilakukan secara sepihak, bukan melalui kesepakatan bersama. “Harga tanah dilapangan bervariasi, rata-rata antara Rp 8. 000-9. 000 per meter, bahkan ada yang dihargai Rp. 6. 000 per meter.
“Contoh sederhana, saat kita beli baju, tentu menanyakan harga kepada penjual. Di situ ada tawar menawar. Semua tergantung pemilik barang, bukan pembeli seenaknya menentukan harga dan mengambil barang. Ini yang terjadi kawasan perusahaan tambang saat ini,”ujarnya.
Hernemus bilang lahan yang diolah dan ditempati sudah ratusan tahun. Jika perusahaan tiba- tiba datang merampas, jelas harus dipertahankan. Dengan alasan memiliki izin tambang mereka berani mau menentukan harga sendiri.
Dia juga cerita perjuangannya mempertahankan tanah dari kriminalisasi dan intimidasi pihak perusahaan kala itu. Akhirnya dia mendekam di penjara setahun dengan tuduhan membawa senjata tajam saat memblokade jalan menuju PT Weda Bay Nickel (WBN) 2013 lalu.
“Saya blokir jalan menuju perusahaan kala itu karena belum ada pembayaran atas pelepasan lahan. Aksi itu kami lakukan bersama 66 keluarga di desa Lelilef. Masalah lahan itu berlarut-larut sejak 2009 hingga 2013,” katanya.
Selain konflik lahan masyarakat lokal dan perusahaan makin intensif, harga tanah juga sangat rendah dari perusahaan, antara Rp. 8000 hingga Rp 9. 000 per meter. Perusahaan mengklaim harga itu sesuai peraturan yang berlaku. Lebih aneh negosiasi jual beli lahan justru terjadi antara perusahaan dan pemerintah daerah, bukan dengan warga lokal.
Masyarakat yang menjual lahan juga tidak menggunakan referensi nilai jual objek pajak (NJOP), melainkan berdasarkan SK Bupati Halmahera Tengah yang mematok harga tanah sebesar Rp. 9. 000 per meter. Bagi mereka yang memiliki lahan di kawasan hutan, perusahaan tambang cenderung menghindari pembayaran ganti rugi.
Sementara, untuk nilai jual objek pajak (NJOP) yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, hanya berdasarkan SK Bupati Halmahera Tengah yang menetapkan harga Rp 9. 00 per meter. Di sisi lain, lahan milik warga di kawasan hutan, oleh pihak perusahaan tambang enggan memberikan ganti rugi. Hal ini karena dianggap berada di area hutan produksi. Pemerintah daerah berusaha melakukan mediasi dengan perusahaan memberikan pembayaran tali asih Rp 2. 500 meter.
Warga sebenarnya menyadari pentingnya mempertahankan lahan sejak izin PT Weda Bay Nickel masuk di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Adanya konsesi ini menyebabkan mereka kehilangan akses ke lahan yang telah dikelola turun- temurun. Mereka juga kehilangan akses ke hutan untuk mencari berbagai kebutuhan.
Awalnya, hanya tiga komunitas masyarakat adat Sawai di wilayah konsesi, yang terkena dampaknya yaitu Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf. Namun saat ini, hamper seluruh desa suku Sawai telah masuk area konsesi.
Harga Tanah Tak Berdasar NJOP
Warga menyoal harga tanah mereka tidak dibayar berdasarkan NJOP. Padahal jika merujuk ke NJOP yang ditetapkan Pemkab Halmahera Tengah di desa lain seperti di Nusliko nilainya mencapai Rp32 ribu meter.
Penjelasan Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan Perbatasan Setdakab Halmahera Tengah, Sofyan Abdul Gafur, seperti dirilis media pada Maret 2020 menyebutkan bahwa, NJOP di Nusliko sebesar Rp 32 ribu per meter.
“Kita punya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Rp. 32 Ribu,” katanya ketika merespon persoalan lahan proyek pembangunan jalan lingkar di Desa Nusliko waktu itu. Dengan dasar ini saja jika tanah warga dibayar berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar itu, maka mereka masih bisa mendapatkan nilai jual tanah yang sesuai.
Masri Anwar, warga Desa Sagea yang juga ikut mempertahankan lahan kebun orang tuanya, menyebutkan, harga tanah di Weda Tengah sampai saat ini tidak ada kejelasan. Masyarakat maupun Pemerintah Desa tidak tahu berapa nilai tanah berdasarkan NJOP. Padahal, wilayah Weda Tengah yang berada dalam kawasan industri, memiliki harga tanah yang pasti berbeda dengan SK Bupati Halmahera Tengah saat ini.
“Setiap wilayah, pasti memiliki nilai berbeda. Weda Tengah sampai ke Weda Utara ini masuk kawasan industri,” katanya.
Munadi, bilang perusahaan dalam membebaskan lahan warga di Halmahera Tengah tidak berdasarkan NJOP. Padahal saat ini PT IWIP ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Tanah di kawasan Industri sudah bernilai strategis, sehingga harga jual tanah juga berdasarkan NJOP yang ditetapkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan nilai besar.
“Sayang di lapangan pembebasan lahan warga Halteng, justru tidak berdasarkan NJOP, tapi atas dasar negosiasi perusahaan dengan warga,” katanya.
Lebih miris Pemerintah Desa bekerjasama dengan perusahaan mendorong warga menjual lahan dengan harga sangat rendah. Pemerintah desa beralasan nilai tanah per meter berdasarkan Peraturan Daerah. Negosiasi jual beli lahan bukan terjadi antara perusahaan dengan warga namun dengan pemerintah daerah.
Warga yang mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT) di desa turut dikenakan biaya administrasi Rp100. 000 per surat yang diterbitkan. Terkadang bisa lebih lebih mahal. Selain itu aparat desa yang mengurusnya mendapatkan imbalan.
Pemerintah Desa menerima pembayaran tambahan dari pihak perusahaan setiap bulannya. Rata-rata, perusahaan yang beli lahan warga memerlukan surat keterangan dari desa. Surat itu mencantumkan harga jual lahan yang ditentukan. Tanpa surat itu perusahaan tidak akan membayar lahan warga. Karena itu, Pemerintah Desa terlibat memfasilitasi perusahaan membeli lahan warga dengan harga rendah.
Mahmud Ali warga Sagea menyebutkan, sebagian besar lahan warga di belakang kampung Sagea telah dijual ke perusahaan. Sayangnya standar harga jual tanah per meternya tidak diketahui secara pasti. Harga tanah itu bervariasi mulai dari Rp7000, Rp9000, Rp 12.000 hingga ada yang Rp 20.000 per meter.
“Jadi tidak ada patokan harga yang pasti. Lahan milik saya ada standar harga tertera di dalam sertifikat yaitu, Rp25 000 per meter, tapi harga yang perusahaan tawarkan di bawah harga sertifikat, jadi kami tidak mau jual,” katanya.
Desakan agar standar harga tanah melalui NJOP ini sudah disuarakan mahasiswa Sagea dengan aksi demonstrasi. Tujuannya patokan harga tanah bisa Rp 50. 000 per meter, namun tidak terealisasi.
Mahmud bilang, Surat Keterangan Desa (SKD) membantu proses penjualan lahan, dan pemerintah desa pun akan mendapatkan jatah hingga Rp1 juta untuk setiap SKD yang diterbitkan. Tim pengukuran lahan biasanya warga lokal yang bekerja di perusahaan.
Wati Samad (46) tahun warga Sagea mengatakan, sebagian warga masih mempertahankan lahan mereka. Terutama yang masih dianggap berpotensi di masa depan. Masyarakat yang paham berusaha tidak dijual. Bahkan mahasiswa juga melakukan advokasi dan aksi meminta orang tua tidak menjual lahan yang dimiliki. Namun hal ini tidak mengubah kondisi saat ini.
Mengeruk Keuntungan Hasil Jual Beli Lahan
Dalam pembelian lahan oleh perusahaan, harga ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan warga. Pada 23 Desember 2024, tim penulis mencoba menelusuri NJOP ini dari BPN Wilayah Maluku Utara, BPN Halmahera Tengah bahkan ke pemerintah daerah hingga kantor Pajak dan Kantor Perbendaharaan Negara untuk mengkroscek dokumen ini. Sayangnya para pihak yang ditemui terkesan berbelit-belit. Mereka saling lempar soal keberadaan dokumen ini.
Bahkan saat tim mendatangi kantor BPN Halmahera Tengah untuk mengkonfirmasi nilai NJOP juga sama berbelitnya. Beberapa staf yang ditemui beralasan para pejabat berwenang termasuk Kepala BPN Halmahera Tengah tidak berkantor.
“Kami tidak bisa melayani karena para pejabatnya juga tidak ada,” kata
Warno salah satu staf yang menjaga kantor BPN di Desa Nurweda, Kecamatan Weda Tengah Kabupaten Halmahera Tengah.

Setali tiga uang terkait adanya kutipan dana oleh desa saat pembayaran lahan dan ikut membantu perusahaan mempercepat proses pelepasan lahan, ternyata ada benarnya.
Plt Kepala Desa Kiyaa Taslim Abdul Hamid dikonfirmasi tidak menampik dugaan keterlibatan desa memuluskan perusahaan mengambil lahan lahan produktif milik warga. Di desa Kiya ini ada proses pembebasan lahan oleh perusahaan tambang PT IWIP dan PT First Pasifik Mining (FPM). Tetapi terjadi sebelum dia menjabat.
Dia bilang, saat itu pemerintah desa memang berperan aktif mendampingi perusahaan mengukur lahan warga dan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT). Hal ini karena dalam proses pembayaran lahan, perusahaan mewajibkan ada SKT maupun surat keterangan lahan yang dijual tidak bersengketa dari desa.
“Kalau tidak ada surat dari desa tidak diproses pembayaran lahannya,” kata Taslim di kediamannya, Selasa malam 18 Maret 2025.
Dia juga akui kutipan dana saat keluarnya SKT dari desa. “Biasanya warga menyerahkan uang Rp1.000.000 ke pemerintahan desa. Uang itu digunakan untuk biaya operasional, alat tulis dan kertas (ATK), honor tenaga yang buat surat serta uang rokok bagi kades sebesar Rp200.000. Kalau surat jual beli yang diberikan desa tidak dipatok harus bayar berapa,tergantung keikhlasan penjual lahan,”akunya.
Selain itu jika harga lahan terjual dengan nilainya besar hingga mendekati miliaran, biasanya ada sumbangan untuk desa. Nilainya mencapai Rp20.000.000 untuk pembangunan masjid. Lalu apakah Pemdes juga menerima imbalan dari Perusahaan karena membantu memuluskan dan mempercepat pengambilan lahan lahan warga?
“Kalau Pemdes terima dari pihak perusahaan saya belum tahu. Yang ada itu hanya dari pihak yang jual tanah berikan ke desa,” kilahnya.
Sementara soal harga tanah yang pasti warga tidak tahu jelas. Apakah nilai jual tanah sesuai NJOP atau tidak. Sebab semua penjualan lahan di Kecamatan Weda Utara sama. Tanah yang memiliki dokumen sertifikat atau tidak nilai jualnya sama.
Pihak perusahaan memberi nilai jual tanah bukan karena berisi tanaman atau karena ada kekayaan mineral. Harga tanah itu dinilai berdasarkan topografinya. Bergunung landai atau rawa.
Saya contohkan saat PT Songhai (sebuah perusahaan asal China,red) yang punya konsesi di Sagea dan Kiyaa melakukan pembebasan lahan menggunakan spesifikasi lahan pegunungan, lahan yang datar dan berawa.
Harga lahan ini tidak berbeda jauh mesti punya sertifikat. Ada yang dihargai antara Rp 9 ribu hingga 12 ribu/meter. Nilai jual lahan tidak berdasar NJOP ataupun keputusan pemerintah daerah sesuai negosiasi antara perusahaan dan pemilik lahan. Jika lobinya bagus harga bisa lebih bagus dan pastinya menguntungkan. “Kami juga bingung dengan penentuan harga lahan,” katanya.
Soal lahan warga yang telah dilepas, berdasarkan dokumen yang dipegang tim penulis, sepanjang 2022 lalu pemerintah desa Desa Sagea setidaknya mengeluarkan 300 lebih SKT. Di Desa Kiya juga ada ratusan SKT dikeluarkan untuk memuluskan PT IWIP, FPM lakukan pembebasan lahan.
Kehilangan ruang hidup petani terutama kebun dan lahan produktif melibatkan banyak pihak. Hasil penelusuran tim penulis menemukan para pihak memiliki peran negosiasi dan eksekusi di lapangan guna memuluskan proses penjualan lahan.
Pengakuan AS, salah satu makelar pengadaan tanah yang berperan penting dalam penjualan tanah sejumlah desa di lingkar tambang mengaku, perannya mempengaruhi warga agar lepas lahan mereka.
AS menjadi salah satu aktor penting dalam pembebasan lahan warga desa Sagea dan Kiyaa. Saat dikonfirmasi Rabu (19/3/205) malam di kediamannya tidak menampik peran tim pembebasan lahan yang dipekerjakan perusahaan baik PT IWIP, Songhai dan PT FPM mempengaruhi warga.
Dia akui di setiap desa lingkar tambang, perusahaan menempatkan tim pengukur lahan serta tim pembebasan lahan. Di Sagea dan Kiyaa sedikitnya enam warga lokal atau tim khusus ditunjuk pihak perusahaan menangani pembebasan lahan masyarakat.
“Saya coordinator pembebasan lahan. Tugas utama saya mengukur lahan dan mempengaruhi warga melepas lahan mereka,” katanya.
AS juga mengaku sempat menjadi karyawan di salah satu perusahaan dan masuk tim khusus yang dibentuk beberapa perusahaan itu. Dia, berperan aktif mempengaruhi para petani melepas tanah dengan harga semurah mungkin.
“Jika warga tidak mau lepas lahan, tim pembebasan lahan datang setiap waktu hingga bisa terpengaruh dan dilepas/dijual. Ada banyak cara dilakukan untuk merayu dan iming-iming bahwa akan mendapatkan banyak uang,” katanya.
Selain itu ada strategi lain digunakan. Yakni perusahaan membeli di sekitar lahan warga yang tidak mau dijual. Tujuannya agar mereka sulit pergi ke kebun. Jika sudah begitu mereka pasti lepas tanah. “Karena pasti sudah sulit ke kebun,” katanya.
Dugaan warga, tim yang dibentuk pihak perusahaan saat proses pembebasan lahan sering kali ikut bermain mengurangi luasan lahan warga. Misalnya saat mengukur lahan menggunakan alat, tidak diukur dari batas- batas lahan.
“Tim pengukur banyak bermain, kalau ukur lahan warga, biasa dikurangi, nanti sisa lahan pengukuran dijual kembali oleh tim,” bebernya.
Dia bilang lagi, dalam proses pengukuran lahan, juga melibatkan pihak perusahaan dan pemerintahan desa. Hal ini karena diberikan mandate langsung oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah mengawal pembebasan lahan.
“Biasanya dalam pengukuran, pihak perusahaan yang turun langsung bersama Pemdes. Setelah pengukuran, Pemdes mengeluarkan surat keterangan tanah. Setelah itu baru dilakukan pembayaran,” tandasnya.
Mengenai harga jual lahan diakui tidak berdasarkan aturan yang ditetapkan Pemerintah. Nilai jual lahan tergantung negosiasi pemilik lahan dengan pihak perusahan. Jika warga bisa mempertahankan lahan dengan harga yang diinginkan pihak perusahaan membayarnya.
“Sebaliknya jika dianggap terlalu tinggi diminta oleh pemilik lahan, maka tidak akan diproses. Kita tahan dulu sampai dia mau jual dengan harga murah. Saat pembebasan lahan dan pembayaran akan dilihat lagi posisi lahan. Ada tiga kategori yaitu tanah berawa, di pegunungan dan di wilayah datar,” katanya.
Halteng yang Dulu Kaya dari Pertanian dan Perkebunan
Kabupaten Halmahera Tengah sebelum massivenya tambang nikel seperti sekarang, dikenal sebagai salah satu daerah pertanian dan perkebunan, kelapa, pala, cengkeh dan kakao. Daerah ini juga memiliki beberapa kawasan transmigrasi sebagai lumbung pangan Halmahera Tengah.
Luas Halmahera Tengah mencapai 227.683 hektar. Namun saat ini luasan lahan itu terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar. Dari luasan itu, sekitar 60% sudah masuk industri tambang. Ada WBN dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perusahaan ini adalah patungan tiga investor asal Tiongkok Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Kawasan IWIP merupakan perusahaan besar yang menguasai lahan di Weda Utara dan Weda Tengah. Selain itu ada juga PT Takindo Energi, PT First Pasific Mining, PT Zong Hai, PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN).
Data BPS Halmahera Tengah 2015 menunjukan, luas perkebunan pala ada 11. 098,50 hektar. Kelapa 10.246,00 hektar, cengkeh, 1.490,00 hektar, dan kakao 3.436,00 hektar. Di Weda Tengah yang sekarang menjadi pusat industri nikel, luas lahan pala mencapai 253,00 hektar. Kelapa 830,00 hektar, cengkeh 70,00 hektar kakao 361,00 hektar.
Sementara jumlah produksi perkebunan kelapa dan pala lima tahunan sejak 2018 hingga 2022 berdasarkan data BPS menunjukan trend penurunan.
Kini, kondisinya berubah, sejak banjir bandang besar menerjang desa ini 2020 dan 2021 lahan pertanian rusak tertimbun lumpur.
Sejak terdampak banjir sawah jadi semak. Ada dugaan warga banjir terjadi karena hutan di hulu sudah jadi areal tambang nikel. Desa berpenduduk 256 keluarga yang berasal dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat itu masuk Halteng sejak 1991 lalu. Desa ini dulunya lumbung pangan. Tapi kini jadi wilayah pelepasan lahan untuk PT IWIP.
Soal pembebasan lahan, pihak PT IWIP memberikan tanggapan. Sebanyak 6 pertanyaan yang diajukan secara tertulis oleh tim penulis, melalui media relation PT IWIP.
Pertama pertanyaan dilayangkan pada 23 Maret 2025, namun belum juga ditanggapi.
Tim penulis kembali mengirimkan daftar pertanyaan pada 16 April 2025 dan ditanggapi pada 28 April 2025.
Tim Penulis Menunggu Cukup Lama untuk Mendapatkan Tanggapan. Melalui Setya Yudha Indraswara Manajer Komunikasi PT IWIP menjelaskan, proses pembebasan lahan yang dilakukan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) selalu mengikuti regulasi yang diatur Pemerintah Republik Indonesia.
Penentuan nilai lahan yang dibayar berdasarkan Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah nomor 970/KEP/153/2018 tentang Klasifikasi dan Penetapan Besarnya NJOP Atas Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan.
Dia bilang nilai pembebasan lahan dapat meningkat dengan penambahan nilai tanaman yang terdapat di lahan tersebut.
“Selama proses pengukuran dan pembebasan lahan, tidak ada paksaan maupun tindakan pengurangan ukuran secara sepihak. Setiap pengukuran lahan selalu dilaksanakan bersama sama antara pengelola lahan, staf desa, dan perwakilan perusahaan,” katanya.
Dia bilang lagi hasil pengukuran juga memerlukan kesepakatan antara ketiga pihak tersebut, sebelum proses dilanjutkan. Penjelasan ini berbanding terbalik dengan pengakuan warga.
Regulasi Tak Jamin Ruang Hidup Masyarakat Aman
Problem ruang hidup dan tanah di lingkar PSN sempat diteliti beberapa lembaga salah satunya Transparansi Internasional (TII). Riset berjudul “Laporan Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya–Studi Kasus di Halmahera Timur dan Tengah 2024 itu tim peneliti mengungkapkan bahwa, perusahaan yang telah mendapat izin beroperasi di “tanah negara” tidak ada hubungan langsung dengan hak masyarakat sekitarnya. Karena itu meskipun, ada lahan dan kebun milik masyarakat di atas wilayah konsesi itu, tanah diwariskan turun- temurun lebih dari 20 tahun sekalipun tetap tidak diakui sebagai hak milik pribadi.
Penelitian dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate dipimpin Rusdin Alauddin dan rekan-rekan pada 2016, yang meneliti sengketa lahan akibat kegiatan pertambangan nikel di Maluku Utara, menunjukkan konflik lahan dengan pelaku usaha pertambangan sulit dihindari bahkan cenderung meningkat karena berbagai faktor.
Dalam hal regulasi misalnya dari tingkat nasional hingga lokal tidak menjamin penyelesaian masalah lahan secara efektif. Masyarakat sering kali jadi korban ketidakadilan yang muncul dari produk hukum yang dihasilkan.
Keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha juga makin memperburuk posisi masyarakat, menjauhkannya dari keadilan yang seharusnya mereka terima. Perasaan ketidakadilan itu membuat warga apatis ketika membahas kesejahteraan dan kemakmuran yang seharusnya dihasilkan dari perusahaan di daerah mereka.
Kurangnya perhatian dari pelaku usaha dan pemerintah juga berdampak pada penolakan masyarakat, yang terkadang berujung tindakan anarkis, merugikan tidak hanya warga, tetapi juga perusahaan dan pemerintah.
Ada beberapa penyebab konflik lahan antara pelaku usaha dan masyarakat. Studi itu menunjukkan besaran ganti rugi lahan merupakan permasalahan utama. Ada 49 persen responden merasa dirugikan karena kompensasi tidak sesuai harapan. 20,67 persen responden mencatat adanya tumpang tindih kepemilikan lahan menjadi penyebab konflik. Beberapa pihak mengklaim hak atas sebidang tanah yang sama.
Permasalahan ganti rugi tanaman juga menjadi titik persoalan. 10 persen responden melaporkan keberadaan perusahaan tambang menimbulkan konflik, terutama karena banyak tanaman warga belum mendapatkan ganti rugi yang layak. Permasalahan ini umumnya terjadi di kawasan pertambangan PT. WBN/IWIP di Kabupaten Halmahera Tengah.
Selain itu sengketa batas wilayah dan kurangnya komunikasi juga masalah yang signifikan. Tidak hanya terjadi antara Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tetapi juga antar desa. Terakhir, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) juga teridentifikasi, belum dijalankan dengan baik dan benar.
Riset ini merekomendasikan agar pemerintah daerah meninjau regulasi di bidang pertanahan, khususnya penentuan besaran ganti rugi lahan untuk masyarakat. Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan kepentingan masyarakat lokal, terutama yang tinggal di sekitar lokasi tambang. Perlu dilakukan sebelum izin diberikan kepada pelaku usaha pertambangan.
Penulis : Sahrul Jabidi (Freelance)
—
Reportase ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan Halmaherapedia.com (Mahmud Ici), Haliyora.id (Sahrul Jabidi), Malutpost (Suryani S Tawari), Malutpost (Fadli Kayoa), RRI Ternate (Mario Pangabean) serta Independen.id sebagai bagian dari program Mengawasi Proyek Strategis Nasional yang didukung AJI Indonesia dan Kurawal Foundation.