Kalesang – Polemik belum dibayarkannya insentif dokter oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara kembali memantik reaksi keras dari kalangan akademisi dan praktisi hukum. Salah satunya datang dari Dr. Hasrul Buamona, S.H., M.H., seorang advokat dan pakar hukum kesehatan dari Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Hasrul menilai bahwa keterlambatan pembayaran insentif dokter tidak hanya merupakan persoalan administratif biasa, melainkan bentuk pelanggaran serius terhadap hak-hak konstitusional tenaga medis.
“Persoalan ini masuk dalam ranah kepentingan umum (public interest) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan terpenuhinya hak-hak tenaga medis, termasuk insentif,” tegas Hasrul dalam keterangan tertulisnya kepada media, Jumat (04/07/2025).
Ia menjelaskan, dalam perspektif hukum administrasi, Bupati Kepulauan Sula Fifian Adeningsih Mus memegang prinsip pertanggungjawaban (aansprakelijheid) sebagai kepala daerah, sementara para dokter memiliki hak (aanspraak) yang melekat pada pelaksanaan profesi mereka sesuai amanat undang-undang.
“Bupati wajib memahami bahwa RSUD dan Puskesmas bukan hanya fasilitas fisik, tapi sarana pelayanan publik yang mensyaratkan ketersediaan tenaga medis dan terpenuhinya insentif mereka. Ini bukan sekadar moral obligation, tapi juga legal obligation,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hasrul menyebut bahwa perbuatan Pemerintah Kabupaten Sula yang tidak membayarkan insentif kepada dokter dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh pemerintah (Onrechtmatige Overheidsdaad), sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan.
“Ini bukan hanya merugikan dokter secara langsung, tetapi juga masyarakat luas yang terdampak karena pelayanan kesehatan terganggu. Masyarakat sebagai pihak yang dirugikan secara medis (gelaedeerde) juga punya legal standing untuk menggugat,” terang Hasrul.
Hasrul juga menyarankan agar para dokter di Kabupaten Sula tidak hanya berhenti pada aksi mogok kerja, tetapi menempuh jalur hukum sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik maladministrasi yang merugikan profesi mereka.
“Alangkah baiknya para dokter menggugat Pemerintah Kabupaten Sula, bahkan Presiden dan Menteri Kesehatan sebagai tergugat, melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena tindakan tidak membayar insentif jelas melanggar perintah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024,” tandasnya.
Di akhir pernyataannya, Hasrul menekankan bahwa pemenuhan hak dokter bukan semata tuntutan profesi, tetapi bagian dari pemenuhan hak dasar masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
Reporter: Rahmat Akrim
Editor: Wendi Wambes