Membaca Realitas

Manusia Asing dan Alam yang Sakral

Pandangan kita mengenai pohon kelapa hanya sebatas pada buah yang lahir dari mayang, diambil untuk dijadikan kopra atau untuk kebutuhan lainnya. Seharusnya cara melihat itu satu tingkat dinaikkan untuk menyaksikan segala penyebab tumbuhnya buah kepala, tanah, sari pati, makanan, air, dan seterusnya.

Lalu tiba kita di satu titik di mana segalanya itu disediakan benar-benar oleh alam, dari situ kita sadar benar bahwa alam adalah the mather of life, atau ibu bagi kehidupan, yang selalu seperti sedia kala menumbuhkan, mereproduksi, merawat, dan melayani seluruh kebutuhan manusia.

Apa yang tidak berasal dari alam?

Manusia disebut mahluk berkelebihan dibanding yang lain, karena akalnya bagi proses memilah, mengurai, mengabstraksi, mengambil kesimpulan, dan lain-lain. Manusia ialah hewan yang berfikir, tetapi apakah daya berfikir itu dapat bekerja jika mana tidak ada suplay oksigen dari alam yang dihirup dan masuk ke dalam sel-sel otak?

Dari sini, hampir sulit menemukan satu hal yang membuat manusia dapat ditetapkan jauh lebih mulia dibanding alam, karena sepenuh kehidupannya menyaratkan hadirnya layanan alam.

Alam adalah mama, alam adalah perempuan, alam adalah makro kosmos, bukan sekadar permisalan. Tetapi nyata dan real, melalui perkawinannya dengan langit lahirlah segala jenis tumbuhan dan hewan yang bermanfaat bagi manusia.

Hingga peradaban dan kebudayaan manusia benar-benar menyebut alam sebagai Dewi Sri, tak boleh lelaki menyentuh padi untuk panen karena bukan muhrim. Suatu hasil asimilasi antara kebudayaan lokal dengan nilai agama, kesemuanya itu adalah praktek yang tumbuh dari pandangan dunia bahwa alam adalah mahluk, benar-benar mahluk, alam adalah wanita, benar-benar wanita, bukan sekadar metafora.

Sayyed Husain Nasr merekomendasikan agama dan kebudayaan lokal sebagai dua jalan bagi apa yang dia sebut resakralisasi atas alam. Mengangkat ulang derajat alam untuk kembali sakral sebagaimana seharusnya dan seperti sedia kala setelah sekian lama diturunkan derajat alam itu oleh modernitas menjadi sekadar budak penyedia sumber kemakmuran material bagi manusia yang mengakibatkan rasa haru, iba dan syukur atas kehadirannya menjadi melemah lalu bertumbuhlah egoisme manusia. Rasa diri menjadi lebih superior dibanding alam.

Rumi berkata, untung saja Muhammad SAW pernah mencium batu hitam bernama Hajaral Aswad, sehingga sesuatu benda yang dianggap sekadar batu itu menjadi sakral, andai saja nabi tak pernah menciumnya, maka batu hitam itu akan dipandang sekadar batu yang tak bernyawa dan apalagi sakral.

Bahwa alam itu sakral, dan sakralitas itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa Tuhan menyebut dirinya arrahman, pelayan tanpa pandang bulu, menumbuhkan makanan, menerbitkan matahari, menghidupkan ikan-ikan dan seterusnya. Alam dengan seluruh layanannya adalah arrahman itu sendiri, apakah kurang nyata?

Namun interpretasi teologis mengenai arrahman selalu menetapkan arrahman sebagai sosok yang terlepas dari alam. Lalu alam bekerja seperti jarum jam yang mekanis layaknya sebuah mesin, mengikuti hukum mekanika Newton yang menjadi alas Filsafat Positivisme yang sejak ribuan tahun mengendalikan alam pikiran manusia modern.

Tidak, arrahman adalah kenyataan, disaksikan setiap orang pada apa saja yang lahir dan hadir dari alam setiap detik secara terang dan telanjang..

Modernitas juga masuk dengan intepretasi lain mengenai penghargaan atas alam dan rasa terima kasih atas layanan alam yang dipraktekkan dalam kebudayaan lokal, seperti upacara penghargaan atas air yang dilakukan masyarakat adat di Tidore misalnya, dengan sebutan paganisme, menyembah benda-benda, suatu tafsiran konyol, berpijak pada pandangan dunia bahwa alam sekadar benda-benda bagi kebutuhan material manusia sehingga tak pantas dipuja.

Upacara penghargaan atas air seperti yang dilakukan masyarakat Kampung Kalaodi di Tidore dan di masyarakat adat lainnya bukanlah dalam rangka menyembah alam atau air misalnya, melainkan sebagai ungkapan terima kasih atas layanan alam itu yang seketika pula mendorong mereka untuk menjaga dan merawat keberlangsungannya sebagaimana seharusnya bagi keselamatan bersama.

Lagi pula, konsep syukur itu sendiri selalu bermakna rasa haru, dan rasa terima kasih atas sesuatu yang memberi nilai dan manfaat bagi manusia yang karenanya apa-apa yang diberikan itu layak dijaga dan dipelihara.

Sejatinya, manusia dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran material yang cukup bahkan berlebih, tanpa harus secara brutal merusak alam. Apalagi daya rusak itu berkali lebih cepat dari kemampuannya untuk memulihkan dirinya, karena eksploitasi atas alam berjalan secara serentak dan dalam skala besar besaran sebagaimana yang kini sedang terjadi di hampir di sekujur tubuh Halmahera dan pulau-pulau lainnya.

Seorang ulama bernama Sayyed Husein Nasr menuturkan sebuah kisah. Pada suatu ketika, kami berjalan-jalan bersama sang guru di sekitar lembah pengunungan Harvez usai menunaikan salat subuh, lalu kami merasakan hadirnya suatu suasana spiritual yang indah di dalam balutan alam yang tenang dan damai.

Tiba tiba sang guru berkata. Sebentar lagi akan hadir dua orang lelaki dari kota dengan pandangan yang sekuler, dan susana spiritual ini akan hilang seketika. Tak lama kemudian, dari ujung sungai tampak dua orang lelaki berjalan mendekati kami lalu tiba-tiba suasan spiritual itu hilang.

Alam menutupi sisi spiritualnya yang paling sublim, mirip muslimah tradisional yang tiba-tiba menyembunyikan kecantikannya dari sorot lelaki asing.***